33. Tekad Sang Cici Angkat

2.3K 45 0
                                    

Thian-hi lompat berkelit turun dari kuda pula, sebelum kakinya menyentuh tanah tahu-tahu tangannya sudah menggenggam seruling putih bersemu merah itu. 

Dalam hati ia membatin, "Betapapun aku harus nekad dan bertindak secepat mungkin, para pengejar dari Tionggoan mungkin saat ini sudah bikin geger di Bu-la-si, tak lama lagi bakal menyusul tiba, kalau dapat lolos dari kejaran mereka ini, begitu memasuki gurun pasir, selamatlah kami berdua!"

Sementara ia berpikir Yan-bun-siang-ing sudah merangsak datang dari kiri kanan. Thian-hi mengegos menyingkir, dia insaf para musuh yang dihadapi merupakan tokoh kejam yang ingin mengambil jiwanya, kalau terpaksa akupun harus bertindak tegas bunuh mereka. 

Terlihat Seruling di tangannya berkelebat menangkis, bersama itu Yan-bun-siang-ing sudah lancarkan serangan gabungan gelombang ketiga.

Dalam situasi yang mendesak begini terpaksa jurus pencacat langit pelenyap bumi untuk ketiga kalinya dikembangkan pula. Jurus pencacat langit pelenyap bumi ini sudah diakui sebagai ciptaan tunggal yang ganas dari Ang-hwat-lo-mo yang sudah diakui sebagai iblis nomor satu di kalangan persilatan masa kini.

Begitu jurus ganas ini berkembang, tampak selarik sinar putih kemerahan melebar laksana bianglala dalam gelanggang, Thian-hi sendiri setiap melancarkan serangan ganas ini pasti tidak mampu menguasai diri sendiri. Di saat melompat berkelit tadi sekaligus ia sudah menyingkir jauh dari kadudukan Sutouw Ci-ko. Maka begitu melihat cahaya merah berkelebat, Yang bun-sian-ing berseru kejut, serempak mereka lompat mundur berusaha lari menyingkir, namun sudah terlambat tanpa mengeluarkan suara bersama mereka menggeletak di tanah, di tengah leher mereka jelas bertapak sebaris garis merah.

Pelan-pelan Thian-hi membasut keringat di dahinya, dengan pandangan tajam ia sapu para pengepungnya, termasuk Sutouw Ci-ko semua mematung di tempatnya.

Bergegas Thian-hi memburu maju menepuk Sutouw Ci-ko serta berseru, "Cici, mari lekas pergi!"

Sutouw Ci-ko tersentak seperti sadar dari lamunan, begitu mengempit perut kuda bersama mereka congklangkan ke depan.

Kim-i-kiam-khek sendiri juga terlongong di tempatnya, betapa tenar dan tinggi kepandaian Yan-bun-siang-ing, masa dalam segebrak saja mati di tangan Hun Thian-hi, walaupun mereka sadar, tapi siapa pula yang berani mengantar nyawa sendiri secara konyol.

Sementara itu, dengan larikan kudanya berendeng Thian-hi menjadi semakin gelisah.

Yan-bun-siang-ing pendekar angkatan muda yang menjulang namanya, tiada punya permusuhan yang mengikat, namun kenyataan sudah mati di bawah serulingnya.

Malah Sutouw Ci-ko yang membuka kesunyian, katanya tertawa, "Kenapa kau? Begitu gelisah dan murung kelihatannya. Sebetulnya kalau kau tidak turun tangan ganas, mereka bakal bunuh kau."

Thian-hi tertawa dibuat-buat, sahutnya, "Tapi mereka tak punya dendam permusuhan dengan aku. Seharusnya aku hanya memberi hajaran setimpal saja kepada mereka, tapi aku tak kuasa."

"Soal itu tak perlu diperbincangkan lagi, yang terang sekarang kita sudah berhasil menjebol rintangan pertama. Depan sana tanpa rintangan lagi, setelah lewat Giok-bun-koan tanah nan luas itu adalah duniaku sendiri."

Thian-hi berdaya untuk melegakan hati, katanya, "Sungguh aku kagum dan ketarik sekali, sejak kecil sudah hidup bebas dan berderap di padang pasir nan luas segar."

"Apa benar? Kalau begitu lekaslah jalan lebih cepat lebih baik."

Bersama mereka pecut kuda lalu membedal bagai terbang ke depan. Hari kedua hampir magrib mereka sudah tiba di luar perbatasan Giok-bun-koan, dari jauh pintu gerbang sudah kelihatan. Thian-hi menjadi girang, tempat yang dituju sekarang sudah tiba, masa depan bakal langgeng tanpa mengalami berbagai kesukaran.

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang