38. Untuk Hidup, Serahkan Kiu-thian-cu-ko

2.5K 47 0
                                    

Melihat datangnya serangan dahsyat ini. Si Tua Pelita tidak berani menyambut dengan cara kekerasan, sebab sekali mengandal kegesitan tubuhnya ia mengegos mundur. Kiu-yu-mo-lo terkial-kial laksana bayangan mengikuti bentuk tubuhnya terbang mengejar tampak kedua telapak tangannya terkembang menggetar, gelombang demi gelombang angin pukulan yang menderu hebat terus bergulung menerjang ke arah Si Tua Pelita dari berbagai penjuru.

Kontan Si Tua Pelita merasa tenaga pukulan Kiu-yu-mo-lo adalah sedemikian dingin membekukan darah, kuatir tenaga sendiri tak mampu bertahan dan tak kuat melawan, akhirnya bakal celaka sendiri terpaksa ia main kelit mengandal Ginkangnya yang tiada taranya itu. Namun serta dirinya dirabu sedemikian gencar dengan serangan ganas, timbul juga amarahnya, dalam suatu kesempatan ia berhasil lolos mencelat mundur, serempak ia tarikan juga kedua kepalan tangannya memukul dengan kekuatan tenaganya memukul miring dari samping kiri, berbareng tubuhnya mencelat terbang mumbul terus mendesak maju, tahu-tahu telapak tangannya sudah terjulur menampar pipi Kiu-yu-mo-lo dari sebelah pinggir.

Melihat orang berkelahi main sergap dan tidak berani melawan secara berhadapan, Kiu-yu-mo-lo menjengek dingin, enteng sekali telapak tangannya kiri terangkat terus memapak ke arah tamparan Si Tua Pelita.

Dalam melancarkan serangannya ini Si Tua Pelita sudah matang dalam perhitungan, melihat aksi lawannya ini, selicin belut tahu-tahu ia menyergap ke belakang orang, sembari lancarkan pukulan dahsyat juga, sasarannya adalah punggung Kiu-yu-mo-lo.

Limapuluh tahun yang lalu nama Kiu-yu-mo-lo sudah cukup menggetarkan berbagai kalangan persilatan, sudah tentu ia punya bekal kepandaian yang lihay, masa mandah saja diserang oleh Si Tua Pelita, tidak kalah gesitnya tubuhnya berputar, lagi-lagi telapak tangannya kanan sudah memapak menangkis pula.

Si Tua Pelita menjadi gusar, batinnya, "Masa kekuatan pukulan dua telapak tanganku tidak kuasa melawan sebuah pukulan tanganmu?" seiring dengan pikirannya, serempak kedua telapak tangannya menghantam dengan kekerasan tujuannya hendak memukul mundur Kiu-yu-mo-lo.

Namun Kiu-yu-mo-lo sendiri juga tahu bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang ringan, masa begitu goblok ia mau menempuh bahaya, jurus permainannya ini tidak lain hanyalah pancingan belaka, gerak geriknya serba guna bisa kosong dapat diisi juga. Begitu Si Tua Pelita mendesak maju, cepat sekali ia menarik tangannya kanan, berbareng tubuhnya berputar terbang, beruntung kedua kepalan tangannya menggenjot bergantian kepada Si Tua Pelita.

Melihat lawan bermain begitu lincah dan berbuat licik, mendadak menjebak dengan pukulan berisi menjadi kosong, keruan bukan kepalang kejut Si Tua Pelita, tak kalah sebatnya ia berloncatan, sambil mainkan pukulannya secara gencar, namun usahanya sia-sia untuk membendung arus tenaga pukulan lawan, akhirnya terpaksa ia harus menyambut dengan kekerasan.

Dengan menyeringai dingin Kiu-yu-mo-lo kerahkan tenaganya, Si Tua Pelita menyambut dengan tergesa-gesa, begitu kedua pukulan saling beradu, seketika ia rasakan segulung hawa dingin meresap ke dalam telapak tangannya terus merembes masuk ke dalam badan melalui sendi-sendi tulang dan urat nadinya.

Sudah tentu tersirap kaget Si Tua Pelita, cepat ia empos semangat dan kerahkan hawa murni untuk menutup semua jalan darahnya, namun demikian tak urung mukanya sudah pucat pasi tak enak dipandang.

Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh mengumbar rasa puas yang tak terhingga, tubuhnya mencelat naik dan menerjang kembali dengan pukulan hebat yang mendampar laksana hujan topan di prahara mengincar kepala Si Tua Pelita.

Si Tua Pelita insyaf bahwa dirinya sudah terluka dalam yang cukup parah, mana berani ia melawan dan mengulur waktu lagi, dasar Ginkangnya memang hebat luar biasa, seenteng asap badannya melambung tinggi terus terbang laksana burung camar melarikan diri sipat kuping.

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang