28. Nama Julukan Leng-bin-mo-sin

2.4K 48 1
                                    

Mendengar Ang-hwat-lo-mo berkaok-kaok, Hun Thian-hi mengumpat dalam hati, kalau aku melongok keluar bukanlah terjebak ke dalam akal muslihatmu malah.

Beruntun Ang-hwat-lo-mo berteriak dua kali, tanpa mendapat reaksi, hatinya menjadi gusar dan memaki, "Bocah keparat yang licik!"

Dia diam berdiri sekian saat, mendadak ia berkata dalam hati, mungkin Hun Thian-hi sudah bolos pergi, kalau tidak masa begitu sabar dia mau menunggu begitu lama. Tanpa merasa Ang-hwat-lo-mo menjadi gelisah, batinnya, Hun Thian-hi lolos pergi sih tidak menjadi soal yang penting adalah jangan sampai berita tentang Wi-thian-chit-ciat-sek itu tersiar luas di kalangan Kang-ouw, atau sebaliknya harapan dirinya menjadi kosong belaka.

Terpikir sampai disini, tiba-tiba batinnya berkata, mungkin disaat aku pergi memeriksa tadi dia lantas kabur? Kalau Hun Thian-hi betul-betul berniat melarikan diri, begitu aku tinggal pergi, setelah dia masuk gua lantas keluar pula dan melarikan diri, bebas dari pengawasanku.

Semakin dipikir Ang-hwat-lo-mo menjadi gopoh, pikirnya, berapa jauh dapat kau tempuh perjalanan selama satu hari ini, betapapun akan dapat meringkusmu kembali. Tanpa banyak pikir lagi segera ia melesat keluar gua.

Dengan hati-hati dan waspada Thian-hi memasang kuping, setelah rada lama tak mendengar suara apa-apa, tapi masih kuatir Ang-hwat-lo-mo belum pergi, betapapun dia tak berani melongok keluar.

Setengah jam kemudian baru ia berani mengintip dari celah-celah batu, melihat tiada kebayangan Ang-hwat-lo-mo, baru ia menghela napas lega.

Thian-hi lantas berpikir, tentu Ang-hwat-lo-mo tengah mengejar jejaknya, beberapa hari ini aku harus selalu waspada dan hati-hati. Akhirnya dia sembunyi lagi digua yang lain selama suatu hari. Hari ke tiga baru ia berani keluar terus melanjutkan ke arah utara, sepanjang perjalanan ini dia tidak berani melalui kota-kota besar, jalan yang ditempuh adalah alas pegunungan atau jalan kampung yang jarang dilewati manusia.

Tiga hari kemudian tibalah dia di tempat gurun pasir yang terbentang luas memanjang tak beruyung pangkal. Segera ia keprak kudanya terus melanjutkan ke utara.

Tempat kediaman Sam-kong Lhama di Kwan-gwa, hampir tiada seorangpun yang tidak kenal akan ketenaran nama Sam-kong Lhama di luar perbatasan ini, maka sekali mencari tahu, segera ia diberi tunjuk alamatnya. Setelah lohor Thian-hi membelokkan kudanya ke arah barat langsung menuju kuil Bu-la.

Cuaca sudah hampir gelap, sang surya sudah hampir tenggelam sejajar dengan garis cakrawala. Tapi selepas pandang ke depan keadaan sekeliling sepi tiada kelihatan bayangan orang atau barang makhluk hidup lainnya. Hati Thian-hi menjadi gelisah dan gugup.

Tak lama kemudian dari kejauhan tampak debu mengepul tinggi memanjang tertiup angin, dua ekor kuda dicongklang kencang lewat disampngnya, sekilas pandang saja lantas Thian-hi tahu bahwa mereka adalah kaum persilatan. Thian-hi menjadi girang, melihat ada orang di daerah gurun yang sepi ini, tentu tak jauh di depan sana ada perumahan rakjat. Segera ia tepuk-tepuk perut kuda lalu membedalnya ke depan.

Tiba-tiba kedua kuda tunggangan tadi putar balik, terdengar seorang membentak, "Berhenti!"

Thian-hi melengak, hatinya rada berang, pikirnya, "Aku tidak berbuat salah terhadap kalian, tanpa sebab kenapa kalian suruh aku berhenti? Ingin kulihat orang gagah macam apa kalian ini." Karena pikirannya terakhir ini segera ia menarik tali kendali menghentikan tunggangannya lalu berpaling.

Kedua orang ini bertubuh tinggi kekar dan kurus kering, orang yang bertubuh kekar itu memelihara jambang bauk diselebar mukanya, melihat Thian-hi menghentikan kudanya, segera ia membentak pula, "Bocah, kemana kau hendak pergi?"

"Apa pedulimu?" dalam batin Thian-hi memaki, namun di mulut ia berkata, "Entah untuk keperluan apa kalian tanya soal ini?"

Laki-laki kekar itu menjadi gusar, hardiknya, "Toaya tanya kau berani kau tidak jawab?"

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang