03. Kakek Buntung Berambut Merah

3.9K 68 0
                                    

Tidak kalah lihay dan sebatnya tahu-tahu Badik Buntung sudah mengancam di tenggorokan Hun Thian-hi. Baru sekarang Hun Thian-hi merasa bagaimana juga dirinya bukan menjadi tandingan si orang tua berambut merah ini, sudah terang kalah main licik pun tak unggulan.

Akhirnya ia tertawa lebar sambil menurunkan tangan kirinya. Dengan tajam si orang tua berambut merah memicingkan mata memandangi mukanya, sorot matanya mengunjuk rasa heran dan kejut aneh, sejenak kemudian ia membuka suara, "Apa yang kau tertawakan?"

Dengan pandangan aneh Hun Thian-hi juga pandang si orang tua berambut merah ini, sahutnya, "Apa? Tak boleh tertawa?"

Si orang tua merenung sebentar, lalu katanya, "Badik Buntung berada di tanganmu, kau tahu cara bagaimana aku akan menghadapimu?"

Sebetulnya tengkuk Hun Thian-hi sudah merinding melihat sorot pandangan si orang tua yang bengis mengandung hawa membunuh, tapi mulutnya tetap bandel, "Itu kan urusanmu, buat apa aku main tebak?"

Orang-tua berambut merah mendehem keras-keras, ujarnya, "Kau akan kujadikan umpan ular, supaya kau mati pelan-pelan." — sambil berkata sinar matanya berkilat-kilat lalu sambungnya lagi, "Tapi jika kau minta ampun padaku, aku boleh memperingan hukumanmu!"

Hun Thian-hi tertawa dengan angkuhnya, ujarnya, "Minta ampun? Selamanya aku belum pernah minta ampun kepada siapapun juga!"

Pandangan si orang tua berambut merah berubah beringas penuh kemarahan, katanya sesaat kemudian, "Apa betul?"

Terasa oleh Hun Thian-hi kelima jari si orang tua berambut merah mencengkram semakin kencang, sampai pergelangan tangan kanannya sakit bukan main seperti tulang-ulangnya hancur luluh. Tapi akhirnya ia tetap bersikap keras kepala dan adem-ayem malah dengan congkaknya ia tersenyum simpul seperti tidak merasakan sakit sedikitpun.

Akhirnya pandangan si orang tua berambut merah menjadi guram putus asa, mulutnya terdengar menggumam, "Bocah yang keras kepala!" — lalu ia menundukkan kepala, sesaat kemudian ia angkat dagu memandang muka Hun Thian-hi, wajahnya mengulum senyum sadu.

Dengan pancaran sinar yang bersifat congkak dan berani Thian-hi bersiap menerima siksaan kedua dari si orang tua berambut merah.

Ternyata pelan-pelan si orang tua berambut merah melepas pergelangan tangan Thian-hi. sekilas dilihatnya seruling batu pualam yang tergantung di pinggangnya, hidungnya lantas mendengus hina, pancaran matanya sekarang berganti penuh kemarahan dan bermusuhan.

Hun Thian-hi tak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh si orang tua berambut merah, tapi dari sinar matanya yang penuh kebencian dan bermusuhan ini tak perlu dijelaskan lagi, hatinya sudah membade (menebak) cara bagaimana si orang tua rambut merah ini hendak menjadikan dirinya bulan-bulanan. Apakah mungkin aku kuat menerima siksaan berat demikian, ia membatin.

Setelah berkilat-kilat sebentar si orang tua berambut merah berkata, "Cara bagaimana kau turun kemari?"

Hun Thian-hi tercengang, hatinya menjadi heran kenapa si orang tua berbalik menanyakan hal ini, sejenak ia ragu-ragu dan curiga, akhirnya ia tertawa tawar, ujarnya, "Kau tak perlu tahu."

"Karena digasak oleh musuh besarmu?" tanya si orang tua rambut merah tak acuh.

Thian-hi semakin heran akan perubahan sikap si orang tua yang menjadi sabar dan kalem, sejenak ia tatap mata orang tanpa membuka suara.

Si orang tua rambut merah tertawa aneh, ujarnya lagi, "Akupun digasak terjungkal kesini oleh musuhku, untung tidak sampai menemui ajal, sayang kedua kakiku ini buntung, jadi tak berdaya pula untuk dapat keluar dari tempat terkurung ini!"

Sejenak ia berhenti, matanya memandang Hun Thian-hi, melihat orang tetap membisu lalu ia menyambung lagi, "Aneh, dengan bekal kepandaianmu ini, jatuh dari ngarai curam sedemikian tinggi tidak mati ini sudah cukup untung dan besar rejekimu, tapi kenapa sedikit luka saja tidak kau derita?"

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang