69. Cinta dan Sakit Hati Bu Bing Loni

2.3K 43 0
                                    

Dengan menahan sabar Ma Gwat-sian menyahut, "Hampir dua puluh!"

Kiang Tiong-bing tersenyum lebar, tanyanya pula, "Lalu berapa usia Hun Thian-hi?"

"Kurang lebih dua puluh tahun juga!"

"Dua puluhan tahun sudah," akhirnya Kiang Tiong-bing terhenyak. "hampir dua puluh tahun sudah aku menetap disini."

Habis berkata ia menghela napas dengan rawan.

Ma Gwat-sian juga menghela napas, pikirnya, "Bila Hun Thian-hi terketuk sanubarinya dan menyesal serta mengejar kemari, alhasil yang ditemui pasti hanyalah Ham Gwat belaka. Setelah ketemu dengan Ham Gwat mungkinkah dia mau kemari lagi?"

Terdengar Kiang Tiong-bing berkata pula dengan suara kalem, "Sudah duapuluh tahun aku terkurung disini, aku tidak perlu takut mati, tapi aku tidak berani keluar, soalnya, kalau aku keluar putriku itu akan dibunuh oleh Bu Bing Loni!"

Mendengar penjelasan ini Ma Gwat-sian berjingkrak bangun, matanya terbelalak besar menatap Kiang Tiong-bing, bibirnya bergerak berkata lirih tertekan, "Jadi kau adalah ayahnya Ham Gwat!"

Kiang Tiong-bing juga tersentak bangun, teriaknya, "Ham Gwat! Apakah kau pernah melihatnya?"

Ma Gwat-sian meloso duduk lagi dengan lunglai, sahutnya pelan, "Baru belum lama berselang di luar gua yang tak jauh sana kulihat dia, tapi sekarang...... mungkin dia sudah pergi!"

Terbayang perasaan hambar dari sorot mata Kiang Tiong-bing, iapun jatuh terduduk lagi dengan lesu dan murung, sekonyong-konyong kepalanya terangkat dan bertanya pada Gwat-sian, "Apakah Ham Gwat bersama Hun Thian-hi itu?"

Ma Gwat-sian menggeleng, ia tertunduk tak buka suara.

"Ai, akhirnya dia datang juga," demikian keluh Kiang Tiong-bing, "Tapi dia tidak tahu bahwa ayah kandungnya sedang merana di tempat ini, tidak diketahui pula olehnya bahwa ibunya berada jauh di ujung langit sana!" — tanpa kuasa air mata mengalir membasahi pipinya.

Tiba-tiba terasa oleh Ma Gwat-sian bahwa riwayat hidup Ham Gwat kiranya juga begitu kasihan dan penuh liku-liku yang tidak diketahui olehnya sendiri. Sejak kecil dia dibesarkan dan dibimbing oleh musuh besarnya sendiri tanpa dia sadari, malah diangkat sebagai ahliwarisnya lagi.

Baru pertama kali ini ia dapat mengecap betapa manisnya madu cinta itu, namun sayang harapan yang dinantikan setiap saat itu ternyata telah terebut oleh orang lain, betapa hati ini takkan merana, betapa hati ini takkan menjadi gersang. Oh, nasib, apakah aku memang ditakdirkan lahir dalam kehidupan yang sengsara penuh derita ini? Air mata meleleh deras menetes ke atas tanah dan terhisap tanpa bekas.

Dengan rada terkejut Kiang Tiong-bing mengamat-amati Ma Gwat-sian, ternyata Ma Gwat-sian pun dirundung rasa kesedihan yang begitu berlimpah, tapi apakah sebab kesedihannya?

"Paman!" ujar Ma Gwat-sian sambil bangkit berdiri, "Mari kubantu kau keluar mencari dia mungkin saat ini dia belum lagi pergi, atau biar aku saja yang mencarinya kemari!"

Dengan penuh haru dan rasa terima kasih yang tak terhingga Kiang Tiong-bing berkata, "Terima kasih akan kebaikanmu. Nona Ma, kukira dia sudah tiada lagi disana. Jangan kau mencapaikan dirimu!"

"Tapi ada lebih baik kucoba-coba pergi mencarinya!"

Melihat sikap dan kekukuhan hati Ma Gwat-sian ini, Kiang Tiong-bing maklum bahwa Ma Gwat-sian pasti berdiri di pihak lawan berat dalam bidang asmara, tapi adalah sikap Ma Gwat-sian yang tanpa pamrih ini sungguh mengetuk jiwanya, sungguh haru dan pilu benar hati si orang tua yang hidup penuh derita ini.

Maju dua langkah ia rangkul Ma Gwat-sian ke dalam pelukannya, ujarnya sesenggukan, "Nak, aku entahlah cara bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ini!"

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang