11. Hwesio Tua Buta dan Hwesio Kecil Jenaka

3.3K 55 1
                                    

Dengan seksama Jan-ting Lojin (si Tua Pelita) mengamat-amati Thian-hi, tanyanya, "Apa betul kau belum pernah dengar namaku ini?"

Hun Thian-hi geleng kepala.

Tanya si Tua Pelita, "Apakah gurumu tidak beri tahu kepada kau?"

Hun Thian-hi menjadi was-was dan heran kenapa Si Tua Pelita ini tanya akan hal ini, ia menggeleng kepala lagi.

Mendadak si Tua Pelita mendongak serta terloroh-loroh, gelak tawanya begitu keras memekakkan telinga sehingga menggetarkan seluruh alam sekelilingnya, daun berjatuhan.

Hun Thian-hi bercekat dan berubah air mukanya.

Setelah tertawa sekian lamanya, si Tua Pelita ini mendesis sambil mengertak gigi, "Sangkamu kau masih bisa seperti dulu tidak memandang sebelah mata kepadaku lagi?"

Hun Thian-hi menjublek di tempatnya, ia tidak tahu kemana juntrungnya perkataan si orang tua, mendadak ia teringat sesuatu serta-merta mulutnya lantas mengiakan, katanya, "Orang yang Cianpwe maksudkan barusan bukankah Ang-hwat-lo-koay?"

Si Tua Pelita membelalakkan matanya mengawasi Hun Thian-hi, tanyanya, "Apa katamu?"

"Bukankah orang yang Cianpwe maksudkan tadi adalah Ang-hwat-lo-koay?"

Si Tua Pelita mendengus sekali, tanyanya, "Apakah orang berbaju mas itu kau yang bunuh?"

Thian-hi manggut-manggut, katanya, "Tapi Cianpwe jangan salah paham, aku bukan murid Ang-hwat-lo-koay."

Si Tua Pelita berkakakan, pelan-pelan kedua telapak tangannya menepuk ke bawah tubuhnya tiba-tiba mencelat ke tengah udara dan terbang melingkar satu bundaran terus hinggap pula di tempat asalnya, katanya kepada Thian-hi, "Kau sudah takut?"

Bercekat hati Thian-hi, gerak tubuh si Tua Pelita ini sungguh luar biasa dan mengagumkan, belum pernah dilihatnya sebelum ini, apalagi timbul tenggelam tubuhnya begitu enteng tanpa mengeluarkan sedikit suara atau desiran angin.

Tapi lahirnya Thian-hi tetap tenang, malah ia mendongak dan bergelak tawa juga serunya, "Apa yang perlu ditakuti?"

"Tidak lebih menakutkan dari ilmu pencacat langit dan pelenyap bumi yang diajarkan oleh gurumu itu bukan?"

"Perlu kutandaskan lagi bahwa aku bukan murid Ang-hwat-lo-koay," ujar Thian-hi dengan nada berat, "Memang kenyataan ia mengejarkan sejurus ilmu ganas itu, kukira kau sendiri sudah tahu berapa banyak jiwa melayang karena ilmu ganas itu?"

Si Tua Pelita terbungkam seribu basa.

Sambung Thian-hi dengan nada lebih tertekan, "Betapa picik dan licik tujuannya itu, sungguh aku lebih menderita daripada dibunuh olehnya!"

Si Tua Pelita rada sangsi, ia mendengus tidak percaya.

Hun Thian-hi menundukkan kepala tanpa bicara lagi.

Tiba-tiba Si Tua Pelita bergerak meluncur tiba kedua tangannya dengan telak mencengkeram kedua pundak Thian-hi, secara gerak reflek Thian-hi meronta sekuat-kuatnya. Sesaat tampak si Tua Pelita tertegun sebentar terus menggumam dengan lesu, "Ah, bukan dia!" lalu ia lepas tangan mencelat kembali ke tempatnya semula.

Thian-hi mendelong awasi si orang tua tanpa buka suara. Akhirnya si Tua Pelita menunduk kepala serta katanya lirih, "Pergilah, selanjutnya jangan kau gunakan lagi jurus ganas itu."

Dilihatnya oleh Thian-hi kelopak mata si Tua Pelita mengembeng air mata, agaknya ia sangat kecewa dan sekejap mata saja sudah tambah tua puluhan tahun, maka katanya pelan, "Kalau Cianpwe punya dendam kesumat dengan Ang-hwat-lo-koay, Wanpwe bersedia membantu sekuat tenaga, aku tahu dimana sekarang ia berada!"

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang