75. Bertemu Musuh Dalam Goa

1.7K 51 0
                                    

Tiga gelombang pukulan dahsyat seketika berkutat dan saling bentur dengan kekerasan yang dahsyat sehingga menimbulkan suara ledakan yang gemuruh. Badan Hun Thian-hi tergetar sempoyongan tersurut mundur ke belakang.

Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho serempak menghardik keras, mereka mengejar datang pula serta menambahi pula dengan tamparan dan sodokan yang mematikan, sementara kelima jari Bing-tiong-mo-tho terjulur panjang mencakar ke muka Hun Thian-hi. Demikian juga Biau-biau-cu merubah sodokan sikutnya dengan sebuah tutukan jari yang mengarah jalan darah Yu-kin-hiat. Besar hasrat mereka dalam serangan serempak yang dahsyat ini dapat membinasakan Hun Thian-hi seketika itu juga.

Tiba-tiba Hun Thian-hi menjengkangkan atas tubuhnya ke belakang, berbareng kedua kakinya terangkat ke atas bergantian menendang ke tenggorokan kedua musuhnya yang menyerang maju dengan nafsu yang berkobar itu.

Keruan kedua musuhnya kaget bukan kepalang, sungguh mereka tidak nyana bahwa Hun Thian-hi dapat bergerak begitu lincah dan pintar, dalam keadaan terdesak berbalik balas menyerang dengan serangan telak yang sekaligus telah membebaskan diri dari renggutan maut serangan musuh.

Lebih di luar dugaan pula bagi kedua musuhnya bahwa gerak serangan Hun Thian-hi ini melulu hanyalah serangan pancingan belaka, begitu kedua kakinya terangkat dan menendang, mendadak tubuhnya melejit mumbul ke atas berbareng berputar satu lingkaran, dimana kedua tangannya menyambar kontan kedua lawannya kena terpukul mundur sempoyongan.

Keruan ciut nyali Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho bahwa dengan dua lawan satu ternyata Hun Thian-hi masih mampu mendesak kedua lawannya dan berada di atas angin, bila pihak sendiri tidak mengundang bala bantuan pasti sulit dapat mengatasi keadaan yang terdesak ini.

Mendapat angin Hun Thian-hi pun melancarkan serangan yang lebih dahsyat, begitu lincah gerak geriknya terus mendesak maju, sekonyong-konyong kedua telapak tangannya terkembang terus menepuk ke atas batok kepala kedua musuhnya.

Melihat Hun Thian-hi melancarkan serangan dengan kekerasan tanpa menjaga lobang kelemahan tubuhnya, Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho mendengus gusar, serempak mereka memiringkan tubuh menyongsongkan telapak tangan masing-masing menyambut pukulan Hun Thian-hi, cara tangkisan mereka ini cukup licik bukan saja dapat memunahkan sebagian tenaga pukulan Hun Thian-hi berbareng mereka susulkan pula pukulan telapak tangan yang lain dengan tenaga yang lebih dahsyat.

Tapi Hun Thian-hi punya perhitungannya sendiri, mana begitu gampang ia bisa dikelabuhi oleh kedua musuhnya. Ia insyaf bila bertempur secara kekerasan jelas dirinya bukan tandingan Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho. Tapi bila kedua musuhnya ini tidak dapat bekerja sama dan dirinya dapat bertindak menggempur kelemahan mereka masing-masing, meski satu lawan dua ia percaya masih mampu mengatasi, malah ia percaya dapat menang mengandal kecerdikan otaknya.

Begitulah seiring dengan jalan pikirannya ini, tampak kedua musuhnya sudah melancarkan pula serangan yang bertujuan sama hendak menggempur dadanya, seketika otaknya yang cerdik dapat meraba cara bagaimana ia harus bertindak, sebat sekali kedua telapak tangannya terkembang berputar di tengah jalan ia robah pukulan telapak tangan menjadi tutukan jari yang mengarah jalan darah Sim-hu-hiat di depan dada kedua lawannya.

Sim-hu-hiat adalah salah satu jalan darah mematikan yang berjumlah tigapuluh enam di seluruh tubuh manusia, begitu kena tertutuk jiwa segera melayang. Angin tutukan jari Hun Thian-hi laksana ujung pedang tajamnya, menembus lewat dari arus pukulan mereka sendiri terus menerjang ke jalan darah Sim-hu-hiat.

Serasa arwah terbang keluar dari badan kasar Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho, mereka insyaf bila dengan gabungan mereka berdua main adu kekerasan sama Hun Thian-hi belum tentu dapat menamatkan jiwa Hun Thian-hi, malah bukan mustahil pihak sendiri yang terkapar binasa di tanah. Sedetik sebelum benturan yang menentukan terjadi sebat sekali mereka menarik diri terus menyurut mundur, sekali mundur terus mundur berulang-ulang.

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang