34. Lari Ke Goa Jian-hud-tong

2.4K 46 3
                                    

Mata padri tua ini meram melek memancarkan sorot berkilau, wajahnya halus welas asih namun mengandung wibawa. Kelihatan Ci-hay berada di belakangnya. Selayang pandang lantas Hun Thian-hi tahu bahwa padri tua yang dihadapi ini pasti adalah Siau-lim Ciangbunjin Te-ciat Taysu.

Te-ciat Taysu mengamat-amati Hun Thian-hi sebentar, lalu berkata, "Pihak Siau-lim-pay kita selamanya tidak ikut mengurus pertikaian Bulim, tapi kali ini terpaksa sebagai Siau-lim-pay Ciangbunjin aku harus turun gunung sendiri, mengundang dan mengumpulkan para kawan pendekar untuk menghalau kamu."

"Cayhe juga insaf melulu perdebatan mulut tidak akan dapat membereskan pertikaian," demikian ujar Hun Thian-hi tersenyum, "Sungguh aku sangat menyesal, hanya karena perkara yang tiada juntrungnya ini sampai membikin susah para pendekar. Apalagi tokoh agung sebagai Taysu ternyata pun ikut dipermainkan tanpa sadar, sungguh aku merasa penasaran dan malu."

Sebagai pejabat tertua dari Siau-lim-pay yang diagungkan di kalangan Bulim, sebagai partai terbesar, Te-ciat Taysu mana sudi dicercah begitu hina, lambat-lambat ia berkata, "Sebetulnya aku sendiri tidak perlu datang. Tapi malam itu Sicu bertandang ke Siau-lim-si sayang Suheng melepasmu pergi, apalagi sepak terjangmu setelah turun gunung begitu buruk dan bikin keonaran di Kang-ouw. Sebagai Ciangbunjin Siau-lim-pay, aku pantang membiarkan nama baik Siau-lim-pay hancur lebur karena perbuatanmu. Alasan pembelaanmu, Suheng sudah beritahu kepada aku. Beliau pun merasa sayang, dengan bakat dan kepintaranmu ternyata nyeleweng ke jalan sesat. Sekarang kau harus segera bunuh diri, atau harus menerima hukum keadilan Bulim."

Thian-hi bergelak tawa, serunya lantang, "Hun Thian-hi masih punya banyak urusan yang belum selesai dikerjakan, mana boleh bunuh diri. Taysu membawa begini banyak tokoh-tokoh silat Bulim kemari, aku lebih suka menantang berkelahi dengan kalian."

Ci-hay segera tampil ke depan Te-ciat Taysu, katanya merangkap tangan, "Tit-ji suka menempur Hun Thian-hi seorang diri, bila kewalahan harap diganti orang lain!"

Te-ciat Taysu sedikit mengangguk.

Ci-hay segera maju ke depan Thian-hi, katanya, "Harap Sicu memberi petunjuk."

"Ci-hay suhu, tempo hari kami pernah bersua, sebagai murid Lam-siau aku menggunakan seruling sebagai senjata, harap Ci-hay suhu suka memberi pelajaran."

Ci-hay menunduk hidmat, sahutnya, "Siauceng menggunakan Cap-pwe-lo-han-ciang untuk menghadapi Thian-liong-chit-sek!"

Thian-hi tertawa lebar, pelan-pelan ia keluarkan serulingnya, tanpa banyak bicara lagi ia mulai menyerang kepada Ci-hay. Gesit sekali Ci-hay berkelit, berbareng sebelah tangannya bergerak miring seperti golok membacok ke arah Hun Thian-hi, tenaganya begitu besar membawa deru angin yang Keras, terang Lwekangnya tidak lemah.

Hun Thian-hi membekal seruling menempur lawannya yang bertangan kosong, sudah tentu ia tidak mau direndahkan, demi gengsi maka ia bergerak selincah mungkin untuk secepatnya dapat merobohkan lawan. Begitulah dengan gaya Sin-liong-wi-kong tubuhnya melambung tinggi, Serulingnya menukik turun dengan jurus serangan Hun-liong-pian-yu mengetok ke batok kepala Ci-hay. Ci-hay adalah salah seorang angkatan muda Siau-lim-pay yang paling dibanggakan kepandaiannya. Melihat serangan dahsyat Hun Thian-hi, hatinya rada bercekat, ia tidak berani menyambut secara kekerasan, tangkas sekali ia menjejakkan kaki melejit mundur menghindar.

Namun Hun Thian-hi sudah kebajut mengembangkan permainan Thian-liong-cit-sek untuk mengekang jalan mundur Ci-hay, dalam tigapuluh jurus musuh dibuatnya kelabakan seperti burung dalam sangkar, dalam suatu ketika dengan ringan sekali seruling Thian-hi dapat menutuk bolong lengan baju Ci-hay, kemenangan sejurus ini cukup membuat Thian-hi unggul segera ia lompat mundur. Demikian juga Ci-hay segera merangkap tangan bersabda Budha lantas mengundurkan diri.

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang