= TUJUH =

10.6K 526 3
                                    

Sinar matahari perlahan memasuki celah jendela kamar Akmal. Dengan sinar yang cukup menyilaukan mata, tidur pulas Akmal menjadi terganggu. Dia pun menggeliat kecil dan mencoba menggeser tubuh untuk menghindari bagian yang terkena sinar matahari.

Udah pagi ya? Gara-gara mimpi aneh aku nggak sadar kalo udah pagi.

Akmal langsung membuka matanya dengan cepat setelah mengingat kejadian yang seolah terjadi sangat nyata kemarin. Pipinya berubah perlahan menjadi merah. Ingatan-ingatan dalam mimpinya tentang melakukan hal itu bersama Juni membekas terlalu jelas. Akmal pun bangkit dari tidur dan memilih duduk dan bersender pada ranjang.

"Gila! Aku mimpiin apa semalam? Dan, dan, lebih parahnya aku mimpiin... Juni?" Akmal mengusap wajahnya dengan cukup kasar.

Tak mau berlama-lama dengan memikirkan kejadian dalam mimpinya itu, Akmal pun menyibakkan selimutnya. Dahi cowok itu mengkerut melihat kejanggalan pada tubuhnya. Sejak kapan dia tertidur tanpa sehelai benang pun?

Apa yang kemarin itu sebenarnya bukan mimpi?

Akmal langsung membelalakkan matanya. Kata-kata kasar dan umpatan terdengar keluar dari mulutnya. Buru-buru dia memakai pakaiannya yang tercecer di lantai. Dengan berulangkali mengumpat, Akmal terlihat kesusahan memakai kaos polos warna abu-abunya. Semoga apa yang ia khawatirkan ternyata adalah sebuah ilusi belaka. Mana mungkin dia melakukan tindakan diluar batas seperti itu? Terlebih pada Juni? Hell, NO!

Akmal membuka kamarnya dengan gerakan cepat. Dia membawa tubuhnya mengelilingi setiap inci ruangan apartemennya. Dia mencari-cari keberadaan Juni. Dan anehnya, dia tidak menemukan sosok perempuan itu. Lalu matanya jatuh pada tumpukan jurnal dan tugas review yang ada di atas meja ruang tengah. Akmal mendekati meja itu dan mengambil kertas-kertas itu.

Masih jelas dalam ingatannya bahwa ia kemarin masih belum menyelesaikan tugasnya. Sedari pagi kemarin tiba-tiba kepalanya mendadak terasa pusing. Dari pagi hingga siang, dia hanya menghabiskan waktunya untuk tidur. Oh, iya. Benar. Setelah Juni datang, barulah dia menyelesaikan tugasnya. Tetapi, pusing kepalanya kembali menyerang disertai suhu badannya yang terasa panas seperti menyentuh api biru. Namun sayangnya, Akmal tidak mengingat kembali apa yang terjadi selanjutnya.

"Jadi yang itu, mimpi apa bukan sih sebenernya?!" Akmal meremas rambutnya frustasi.

Juni.

Benar. Satu-satunya yang bisa dia tanyai saat ini adalah Juni. Dia harus menemui gadis itu dan mengklarifikasi semuanya. Termasuk, apakah gadis itu sempat memasuki kamarnya atau tidak. Masalahnya, dia seperti ingat-tidak ingat dengan itu. Rasanya dia ingin mempercayai bahwa Juni sempat memasuki kamarnya, tapi sebagian dari pikirannya menolak dengan keras dan mengatakan bahwa dia hanya berhalusinasi dan melihat Juni memasuki kamarnya karena kondisinya yang sakit dan demam.

Tanpa babibu lagi, Akmal kembali memasuki kamarnya. Tangannya langsung menyambar jaket denim dan memakai jogger pantsnya. Tak memedulikan penampilannya yang terlihat jelas seperti orang bangun tidur, Akmal berjalan keluar kamar. Langkahnya sempat menuju ke bufet kecil dekat sofa ruang tengah untuk mengambil kunci mobil yang tergantung di sana.

Akmal telah siap dengan penampilannya dan keperluannya. Dia pun buru-buru berjalan menuju pintu apartemen dan hendak berjalan keluar. Saat pintu terbuka, Akmal justru membeku di tempatnya. Sosok yang berdiri di depannya membuatnya terpaku. Ia begitu kaget hingga untuk mengucap nama si pengunjung aja Akmal sedikit kesusahan. Setelah mengambil satu tarikan napas untuk menenangkan diri, barulah dia berujar lirih memanggil nama orang di depannya.

Orang itu tersenyum lembut namun terdapat serat kecanggungan di balik senyumnya.

"Mira?"

***

JUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang