= DUA PULUH EMPAT =

7.4K 392 11
                                    

— Wedding Proposal —
- part 1 -

***

Akmal Wijaya: Aku udah di depan rumah kamu.

Juni merasakan napasnya sedikit sesak karena gugup saat membaca pesan singkat dari Akmal barusan. Dia pun langsung bangkit dari duduknya di atas ranjang. Juni sebenarnya belum siap untuk malam ini. Tetapi, mau bagaimana lagi. Keputusan mendadak Akmal yang akan melamarnya membuat Juni kebingungan dan deg-degan sekaligus. Sejenak, Juni mencoba untuk mengambil napas dan membuangnya. Dia pun mengetikkan balasan untuk Akmal.

A. Juniara: Oke. Aku ke depan.

Juni lantas menaruh ponselnya di atas meja belajar dan berjalan menuju pintu kamarnya. Namun, dia berhenti sesaat ketika sampai di ambang pintu. Dia kembali berbalik dan mengambil langkah untuk berkaca di depan lemari. Juni mengamati dirinya sendiri yang terbalut sebuah dress biasa selutut berwarna peach. Juni juga menatap wajahnya sendiri yang berpoleskan make up natural. Dia teringat perintah Mama setelah sholat Maghrib tadi bahwa Juni harus tampil dengan sopan dan cantik. Kata beliau, momen lamaran pernikahan itu penting dan sakral, walaupun tidak dalam balutan kebaya dan riasan tebal.

"Bunda berpenampilan gini nggak bakal malu-maluin keluarga Akmal kan, Nak?" Ucap Juni pada Adek.

Dia menarik napas lagi.

"Semoga enggak."

Juni pun bergegas untuk keluar kamar. Dia merasa tidak enak karena membiarkan Akmal dan keluarganya menunggu di luar. Yah, walaupun aslinya Juni tidak masalah kalau hanya Akmal saja yang di luar.

"Akmal dan keluarganya sudah datang, Nak?" Tanya Mama ketika melihat Juni keluar dari kamar.

"Iya, Ma." Juni menoleh sekilas menatap Mama yang berjalan dari arah dapur.

"Yaudah cepet kamu bukain pintunya. Mama mau siap-siap dulu."

Juni mengangguk sekilas dan melanjutkan jalannya.

Juni memutar kenop pintu ruang tamu untuk membiarkan Akmal beserta orang tuanya masuk. Ketika pintu sepenuhnya terbuka, Juni sempat kaget melihat Akmal. Dalam mata Juni, Akmal tersenyum kecil namun wajahnya penuh dengan lebam. Dapat Juni lihat beberapa ruam lebam di bibir, tulang pipi kiri dan sudut matanya.

"Hai, Jun." Sapa Akmal.

"A-Akmal, kamu kenapa kok–"

"Udah jangan tanya. Boleh aku sama ortuku masuk?" Potong Akmal.

"O-Oh, silahkan."

Juni pun menggeser tubuhnya, memberikan akses jalan bagi Akmal untuk masuk ke ruang tamu. Terlihat di belakang Akmal ada sepasang suami-istri paruh baya dengan pakaian batik sarimbit yang tersenyum ke arahnya. Juni pun dengan gugup membalas senyum dari orang tua Akmal.

"Ya ampun, jadi kamu ya yang namanya Juni?" Tanya Ibu Wijaya.

Wanita yang sudah dipastikan ibu Akmal itu, langsung berjalan mendahului suaminya dan meraih cepat kedua tangan Juni. Karena kebingungan, Juni hanya bisa mengangguk dengan kikuk untuk membalas pertanyaan dari ibu Akmal.

"Kamu cantik banget." Puji wanita itu.

"E-Eh, em, t-terima kasih, Tante." Jawab Juni.

"Kok Tante? Sebentar lagi kan kamu jadi menantu saya. Mulai sekarang kamu panggil saya Mama saja ya?" Pinta Ibu Wijaya.

"E-Eh?"

"Dan kamu bisa panggil saya Papa. Sama seperti anak satu itu memanggil saya." Bapak Hendra Wijaya, ayah Akmal, menyahut kemudian dengan diakhiri menatap sinis pada Akmal.

JUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang