= DUA PULUH ENAM =

7.3K 382 9
                                    

— The Wedding —

***

Juni memandangi wajahnya yang terpantul di depan cermin. Hari ini akhirnya tiba. Hari dimana ia akan dipersunting oleh Akmal. Hari dimana dia mengenakan kebaya putih dengan make up dan sanggul yang berhiaskan rangkaian bunga melati. Make up penganten khas adat Jawa tercetak jelas pada diri Juni.

Seharusnya Juni merasakan kebahagiaan dengan hari ini. Harusnya ada ribuan bunga yang tumbuh di hatinya karena ia akan dipinang laki-laki yang ia cintai—meskipun sekarang justru dia benci. Namun, bukannya sebuah kebahagiaan yang datang, tetapi rasa sedih yang cukup dalam. Bagaimana dia tidak sedih apabila dia harus merelakan banyak hal agar pernikahan karena keterpaksaan ini terlaksana. Juni merelakan pendidikannya. Juni merelakan dia harus menghilang bak tertelan bumi begitu saja dari lingkungan kuliah dan kawannya. Terlebih, dia pun juga harus hilang dari hadapan Mira, sahabatnya.

Mengingat itu semua, mata Juni terasa panas. Ingin dia kembali menangis dan memutar waktu lantas menolak lamaran keluarga Akmal malam itu. Dia masih ingat bagaimana Akmal memintanya harus menghilang dan keluar dari dunia perkuliahan. Memintanya untuk tidak menampilkan diri di depan Mira. Dan yang paling menyesakkan dari semua itu adalah semua pengorbanannya yang tadi hanya akan berujung pada sebuah perceraian yang akan terjadi kurang lebih enam sampai tujuh bulan nanti. Tepat saat Adek nanti lahir.

"Nak..." Bisiknya sambil mengusap perutnya, "pilihan yang Bunda ambil ini benar, kan?" Juni bertanya dengan mata berkaca-kaca.

"Juni."

Panggilan dari Mama membuat Juni dengan cepat menenangkan diri agar tidak sampai air matanya jatuh. Mana boleh dia membiarkan Mama melihat air mata kesedihannya jatuh di saat hari dimana semua keluarganya merasa bahagia atas pernikahannya.

"Ya, Ma?" Juni membalikkan badan dan tersenyum kecil pada Mama yang mulai menghampiri dari daun pintu kamarnya.

"Kamu sudah siap, sayang?" Tanya Mama.

"Em, masih deg-degan, Ma. Nggak tau nih udah siap apa belum." Juni memainkan jarinya.

Mama mendekat dan berdiri di samping Juni. Dia menatap pantulan Juni yang berada di depan cermin. Juni pun mengikuti arah pandangan Mamanya. Mama tersenyum lembut melihat anak gadisnya sangat cantik dengan balutan make up yang bahkan sempat membuatnya pangling.* Mama masih tidak menyangka bahwa anaknya hari ini akan menjadi tanggung jawab orang lain dalam keluarga barunya.

"Kamu manglingi, nak. Kamu terlihat cantik banget. Mama bahkan sampai pangling. Akmal nanti pasti bakalan pangling sama kamu." Mama memegang kedua bahu Juni dan tersenyum lembut.

Juni pun ikut tersenyum kecil, meski tidak bisa dipungkiri hatinya masih berdenyut merasakan sakit.

"Ah, Mama bisa aja. Nggak manglingi kok, Ma. Cuma riasannya tebel doang." Juni mengelak kecil.

"Tapi kamu cantik banget, Sayang. Mama jadi keinget sama hari pernikahan Mama dan Papa kamu dulu. Wajah kamu mirip banget sama Mama waktu itu. Papamu bahkan sampai melongo pas Mama keluar dari kamar dan berjalan ke tempat ijab qabul." Mama tersenyum simpul sambil bernolstagia hari pernikahannya.

Juni mengamati wajah Mamanya. Meskipun tertutup riasan make up, Juni masih menangkap samar-samar gerutan kecil pada wajah Mama. Menandakan bahwa Mamanya memang telah berumur dan sudah tak lagi muda. Dan mata Juni kini menangkap senyum sumringah dan pancaran kebahagiaan di wajah wanita nomer satunya itu. Juni meringis dalam hati setiap melihat wajah binar Mama. Hatinya teriris setiap kali obrolan malam dengan Akmal malam itu terlintas di pikirannya. Melihat Mamanya berbinar seperti ini, mana tega dia nantinya akan menghapus senyum sumringah itu dengan perceraian.

JUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang