= LIMA PULUH =

9K 579 116
                                    

—— Last Happiness, Sweet Memories ——

***

Mira mengambil tisu untuk yang ketujuh kalinya sekarang. Usai bertemu dengan Ega dan membicarakan tentang semua masalah yang ada, tangis Mira justru semakin pecah. Revan yang duduk di sebelahnya hanya mengamati jalanan di luar sana dari kaca mobil. Revan memilih untuk diam agar membuat Mira puas untuk meluapkan segala tangisnya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, isakan Mira sudah nggak terdengar sepilu tadi. Hanya isakan kecil dan bulir air mata yang mengalir sesekali. Revan melirik ke arah Mira. Lelaki itu hingga kini masih diam. Sebesar apapun rasa penasaran Revan, lelaki itu hanya akan diam sampai si pemilik masalah baru mau cerita. Ingat, Revan dulu pernah mau bertanya tapi adanya membuat Mira semakin menangis histeris. Kali ini ia memilih lebih hati-hati dalam bersikap.

"Makasih..." Ucap lirih Mira. Tangannya menyeka air mata yang sempat menetes.

"Hm, iya." Sahut Revan.

"... dan maaf udah merepotkan, Pak Revando." Tambah Mira lagi.

Revan melirik kembali ke tempat Mira. Ia berdeham kecil. "Em... panggil Revan aja kayak dulu." Ucap Revan.

"Tapi Bapak kan dosen saya. Nggak etis rasanya kalo saya manggil Anda Mas Revan seperti dulu." Iya, Mira tahu. Gap antara dosen dan mahasiswa itu emang ada. Dan ia sudah sepantasnya tidak melewati batas dari gap itu.

"Kenapa? Kan kita ada di luar lingkungan kampus. Aku di sini posisinya bukan dosen juga. Dan kamu bukan mahasiswaku saat ini. Jadi, yaudah kita ngomong santai aja kayak dulu." Jelas Revan sedikit mengotot.

Mira menghela napas. Saat ini, ia sedang nggak ingin berdebat. Kepalanya masih pusing akibat menangis. Dan bengar di hidungnya masih terasa.

"Yaudah, terserah Mas Revan aja."

Revan mengulas senyum kecil.

"Sekali lagi... maaf ya. Kamu harus melihat aku yang lagi-lagi mess up kayak gini." Lanjut Mira.

Dengan sedikit memberanikan diri, Revan mencoba untuk bertanya mengenai hal yang membuat Mira menangis.

"Em, boleh tau kenapa kamu nangis seperti tadi?" Tanya Revan. "Eh, tapi kalo nggak mau cerita juga nggak papa kok. Nggak usah ditanggepin." Buru-buru Revan menambahkan hal yang terlintas di pikirannya.

Mira menoleh dan menatap Revan. Semua yang ada di benaknya ingin ia ungkapkan. Ia ingin Ega yang ada di sini, mendengar semuanya. Tapi, Ega pun sepertinya semakin bingung setelah tahu sebenarnya. Mata Mira melirik ke arah mata gelap Revan. Nggak ada salahnya cerita dengan cowok di sampingnya ini kan?

"Sebenarnya, aku lagi punya masalah."

"Masalah?"

Mira mengangguk. "Pacarku... nikah sama sahabatku sendiri." Lanjutnya.

Revan sedikit membelalakkan matanya. Ia lantas berdeham kecil. Baru kali ini Revan menemukan kasus seperti yang Mira katakan barusan. Revan kira, hal seperti itu cuma ada di sinetron.

"Awalnya aku marah banget sama sahabatku. Aku ngerasa dia udah nusuk dari belakang. Aku juga marah sama pacarku, karena ternyata dia menghamili sahabatku. Rasanya sesak banget waktu tahu aku tuh orang terakhir yang tahu semua rahasia mereka." Mira menghentikan ceritanya karena ia merasa nyeri dalam hatinya.

"Em... pacar kamu... cowok yang tadi?" Tanya Revan hati-hati.

Mira menggeleng. "Bukan. Yang tadi itu namanya Ega. Dia juga salah satu sahabatku. Dan dia juga tahu masalah pernikahan pacar dan sahabatku ini, Juni."

JUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang