Juni berjalan lemas ke atas kasurnya. Udah setengah hari ini dia bolak-balik menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya yang kadang hampir tidak ada apa-apa. Kepalanya juga terasa sangat pusing. Apa maagnya kambuh?
"Mama pulangnya masih lama." Juni mendesah.
Sudah ada 10 hari tepat dia tidak masuk kuliah. Masa bodoh sih. Dia masih belum mau keluar dari rumah. Dia belum siap bertemu Mira dan Ega yang pasti akan menginterograsinya seharian. Dan juga, dia belum siap jika bertemu Akmal di beberapa mata kuliah yang sama-sama mereka ambil.
Lalu tugas?
Nggak masalah juga baginya, masih ada teman lain yang berbaik hati buat memberitahunya tugas kelompok. Membicarakan tugas kelompok, Juni teringat tugas review jurnalnya. Kira-kira, Akmal lupa atau udah mengumpulkannya ke Pak Ahmad ya?
"Ah! Gara-gara Pak Ahmad nih!" Juni mencak-mencak di atas kasur.
Tiba-tiba saja dia ingat perbuatan bolosnya. Sudah berapa hari tadi? Sepuluh hari bukan?
Juni bangkit dan berjalan menuju meja belajarnya. Mengambil kalender meja untuk mengecek hari dan tanggal berapa sekarang ini. Rupanya sekarang adalah hari Minggu.
Mata Juni menangkap angka dalam kalender yang dilingkari merah. Itu adalah tanggal 15. Tanggal yang udah lewat tepat seminggu dari sekarang. Juni terdiam. Bukankah tanggal 15 adalah hari menstruasi pertamanya? Lalu, kenapa dia sampai sekarang belum mendapatkan periodenya?
Mata Juni melebar. Kalender dalam genggamannya sampai jatuh. Karena syok, dia sampai reflek mundur ke belakang. Tangannya bergetar mencari apa saja yang bisa menjadi pegangan dan topangan tubuhnya yang mendadak lemas. Untunglah di belakangnya ada ranjang, dia pasrah saja ketika tubuhnya jatuh terduduk di atas kasur.
"N-Nggak mungkin, kan?!" Gumamnya dengan badan bergetar.
***
Ega berjalan dengan langkah santai untuk kembali ke kamar inap adiknya. Dia baru saja mengambil waktu untuk sholat Dzuhur di musholla lantai dasar. Tidak begitu lama sih karena masih terlihat dengan jelas sisa-sisa air wudhu pada dirinya. Terutama pada rambut hitamnya yang basah hampir separuh lebih.
Seharusnya, sekarang Ega mengambil waktu weekend miliknya untuk bekerja paruh waktu di bengkel milik paman temannya. Tapi, karena adik sepupunya yang sama-sama masih kuliah mendadak drop karena tekanan darahnya turun, menjadikan cowok itu meminta ijin pemilik bengkel untuk membawa adiknya ke rumah sakit. Pikirnya kemarin siang, setelah memeriksakan adiknya, mereka akan pulang. Eh ternyata nggak!
Dokter menjelaskan kalo kondisi adik Ega tergolong sangat lemah. Anjuran untuk opname selama kurang lebih satu-dua hari adalah alternatif terbaik bagi adik Ega. Ya, jadi begitulah, akhirnya Ega memustuskan untuk membiarkan adiknya diopname. Toh besok pulang kan?
Hari ini Ega tidak mengambil rute untuk kembali ke ruang rawat inap adiknya seperti kemarin. Lorong lantai dua tempat yang ia lewati sebelum sholat tadi sepi, dan sekarang sangat ramai karena bertepatan dengan jadwal hari memberikan semangat bagi anak-anak yang sedang sakit di rumah sakit ini. Alhasil, dia pun ambil rute berputar. Melewati lorong poli kandungan.
Ketika dia akan berbelok, mata dengan frame kacamata miliknya menangkap sosok yang dia kenal sedang menunggu bersama pasien lain di poli kandungan. Alisnya mengkerut semakin jelas saat melihat pergerakan kecil tangan orang dikenalnya itu sempat mengusap pelan perut dan menunduk menatap perut datarnya.
Juni?!
Ega masih di tempatnya, menunggu Juni yang dilihatnya tadi masuk terlebih dulu ke dalam poli kandungan. Tak lama, seorang asisten perawat memanggil namanya, dan Juni masuk. Dengan cukup gugup, Ega pun berjalan menuju meja tempat perawat yang memanggil nama Juni tadi.
"Permisi, Suster. Em, kalo ke dokter ini biasanya periksa apa aja ya?"
"Masnya ini kok lucu. Ya yang jelas ya kandungan dong, Mas." Suster itu terkekeh.
Ekspresi wajah Ega udah nggak karuan. Setelah berucap terima kasih sebentar, dia langsung berjalan ke tempatnya semula bersembunyi. Menunggu Juni keluar. Ini terlalu membingungkan bagi Ega. Hanya Juni yang bisa menjawab semua kebingungan di dalam kepalanya.
Sekitar tiga puluh menit berlalu dan terlihat pintu poli dokter kandungan itu terbuka. Juni keluar dengan wajah yang murung. Sangat murung malahan. Ega menegapkan tubuhnya dan bergeser ke samping agar tidak terlihat oleh Juni yang sedang berjalan ke arahnya.
Tunggu!
Kok dia sembunyi? Harusnya kan dia keluar dan menanyakan semuanya pada Juni. Akh, ini gara-gara keseringan lihat Aleeya dan nggak segera kutembak sih anaknya!
"Juni?"
Nada suara Ega dibuat seolah-olah dia tak sengaja bertemu Juni. Dapat Ega lihat, Juni terkesiap. Cewek itu pasti kaget. Badannya sampai bergetar. Dan surat di tangannya sepertinya sibuk untuk ia sembunyikan dari Ega.
"Itu surat apaan Jun?!" Ega udah berhenti di depannya. Tepat saat Juni memegang erat tasnya.
"E-Ega?! K-Kamu kok di sini?" Juni berusaha senormal mungkin bertanya pada Ega. Jangan sampai Ega tahu surat apa yang dipegangnya.
"Adik sepupuku opname di sini. Kamu ngapain di sini? Surat apa yang kamu sembunyiin?" Ega menatap lurus Juni.
Juni kaget. Dia mundur sedikit ke belakang. Tangannya juga semakin meremas kuat tasnya. Rasanya untuk menelan ludah saja dia kesusahan. Juni takut. Juni tidak ingin berita yang baru saja dia terima sampai ke telinga siapa pun. Tidak itu ibunya, Mira dan bahkan Ega. Juni hanya belum siap. Sama sekali tidak siap.
"B-Bukan apa-apa kok. C-cuma hasil cek medis aja." Juni melirik arah lain. Takut berkontak mata dengan Ega.
"Jun."
Nada itu adalah nada suara yang tidak begitu disukai Juni dari Ega. Dari semua nada suara, nada suara serius milik Ega yang membuat Juni tidak tenang. Jika sudah keluar nada suara seperti panggilan kecil tadi, itu artinya Ega sedang mengajaknya berbicara serius. Ini bukan perkara mudah bagi Juni untuk menghindar dari Ega ketika cowok itu bersikap serius.
Karena rasa takutnya, tubuh Juni bergetar. Detak jantungnya juga berpacu lebih cepat. Gelisah, dia hanya bisa menggigit bibir bagian dalamnya.
"Juni, aku lagi tanya kamu. Surat apa itu yang ada di tas kamu? Kenapa kamu punya hasil cek medis dari poli kandungan?"
"S-surat ini, s-surat ini..."
Sebelum Juni bisa menjawab pertanyaan dari Ega, mata kecoklatannya hanya semakin berkaca-kaca. Detik selanjutnya tumpukan bulir-bulir di matanya langsung jatuh. Begitu derasnya sampai isakan tangis saja yang keluar dari bibir Juni. Ega merasa bersalah karena telah memojokkan Juni. Dengan sigap, dia pun langsung membawa Juni ke dalam pelukan. Membiarkan perempuan itu menangis tersedu di lorong rumah sakit.
Ega tidak begitu peduli dengan tatapan orang-orang yang melintas di sekitar mereka. Mendengar isakan dan pilunya tangisan dari Juni, membuat hatinya seperti teriris. Ini adalah pertama kalinya Ega melihat Juni menangis pilu seperti ini. Baginya, hampir tidak pernah dia melihat Juni menangis sedu seperti sekarang. Yang sering Ega lihat adalah ketika Juni hanya menangis haru karena melihat film atau drama Korea yang melankolis.
"Kita pindah ke tempat yang lebih sepi ya?" Tawar Ega.
Anggukan kecil dari Juni cukup menjadi jawaban bagi Ega untuk membawa pergi sahabatnya itu dari sana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNI
Romance[WARNING] [Harap bijak membaca cerita ini. Terima kasih.] Juni adalah seorang perempuan biasa yang tidak jauh berbeda dengan perempuan umur 20an lainnya. Semua yang diimpikan oleh Juni perlahan terwujud satu persatu. Dan sekarang impian lainnya seda...