= TIGA BELAS =

9K 442 12
                                    

Juni menatap pantulan dirinya di depan cermin meja rias. Penampilannya cukup kacau. Matanya sembab akibat menangis hampir seharian kemarin. Mama yang pulang-pulang dari kerja sampai panik ketika melihat Juni yang terisak di kamarnya. Bahkan Mama sampai ambil cuti untuk satu hari karena ingin menemani Juni seharian ini.

"Sayang," suara Mama mengalun indah. Perlahan sosoknya mulai masuk ke dalam kamar Juni. "Ayo sarapan."

Juni menoleh. Dia berdiri sejenak dan berjalan menghampiri Mama.

"Mama kok sampe cuti segala sih." Juni memeluk Mamanya.

"Ya karena Mama khawatir sama kamu. Masalahmu pasti berat banget ya sampe kamu nggak kuliah gini. Mama ingin nemenin kamu yang lagi kena masalah ini. Mama akan sabar banget buat nunggu kamu cerita masalah kamu ke Mama." Mama mengusap puncak kepala Juni.

"Ma," Juni berucap lirih.

"Iya, sayang?"

"Beasiswaku dicabut, Ma. Kemarin aku dapet surat pemberitahuannya dari kampus." Juni mulai terisak.

"Lho? Kok bisa?!"

"Gara-gara Juni nggak segera selesaiin pemberkasannya, Ma. Dan udah lewat masa tenggangnya. Hiks.."

Mama langsung mendekap erat Juni. Menyalurkan rasa sayangnya. Sedikit heran sebenarnya, hanya karena kehilangan beasiswa Juni sampai sesedih ini. Mungkin beasiswa yang sangat berharga.

"Udah, sayang. Mungkin emang bukan rejeki kamu. Ndak apa-apa, kan masih ada beasiswa lain. Gara-gara ini kamu jadi nggak masuk kuliah berhari-hari?" Mama melepas peluknya dan menatap Juni sebentar.

Juni terdiam. Isakannya saja yang tersisa. Pertanyaan Mamanya membuat Juni bungkam. Andai dia punya keberanian yang besar pasti dia akan langsung teriak ke Mama bahwa bukan pencabutan beasiswa yang mengganggu kuliahnya. Kesalahan pada satu malamlah yang membuatnya seperti ini. Kesalahan yang membawanya pada kondisi yang menjadikan Juni berbadan dua. Sanggupkah dia berkata semua kejadian itu pada Mama? Jelas tidak.

"Ma, aku mau masuk kuliah aja siang ini." Ucap Juni setelah menghapus air matanya.

"Loh? Kok tiba-tiba sih sayang?" Kaget Mama.

Juni tersenyum kecil. "Aku udah terlalu lama bolos kuliah, Ma. Masalahku kalo terus-terusan aku galauin, kuliahku nggak jalan dong." Juni mencoba bercanda.

Benar. Mama terlihat semakin khawatir dengan keadaan Juni. Hal ini menjadikan Juni tanpa sengaja mendapatkan pikiran untuk melangkah secara cepat tanpa pikir panjang. Mamanya sampai mengambil cuti kerja untuk menemaninya. Pastinya Mama sangat amat khawatir. Juni tidak boleh membiarkan itu. Mama tidak boleh sampai khawatir berlebih dan justru kepikiran dengan masalah Juni. Apalagi sampai sekarang Juni tidak menceritakan apapun ke Mama. Pasti Mama juga sangat penasaran sama permasalahan Juni itu. Dan Juni tidak ingin Mamanya tahu.

Maka satu-satunya hal adalah dia mencoba untuk kembali bersikap seperti sedia kala. Juni yang ceria. Juni yang seolah tak terbebani permasalahan. Dan Juni yang selalu menyebarkan senyum manis dan ramah terhadap siapa saja. Dia harus menjadi Juni yang seperti biasanya. Meski sepenuhnya nggak bisa menjamin akan sama seperti semula.

"Yakin kamu, Nak?"

"Iya, Ma. Juni walaupun punya masalah tapi Juni harus tetep kuliah dong. Intinya dipikir sambil jalan gitu lho, Ma."

Mama terdiam sejenak dan menatap Juni. Yang ditatap hanya tersenyum lebar dan mencoba meyakinkan keputusannya lewat tatapan penuh harap dari Juni untuk Mama. Hembusan napas pelan terdengar keluar dari mulut Mama.

"Yaudah kalo kamu udah bener-bener siap buat kuliah. Kuliah jam berapa nanti kamu?"

"Jam sepuluh, Ma."

JUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang