= EPILOG =

7.5K 193 3
                                    

Akmal berlari menyusuri lorong rumah sakit. Membiarkan langkah lebarnya menerobos lorong rumah sakit yang saat itu terlihat banyak orang berlalu lalang. Ia mendesah kecil setiap akan berlari tetapi terhadang banyak orang. Dia hanya ingin sampai segera di ruang bersalin tempat di mana Juni berada.

Tak lama, dia pun sampai di depan ruang bersalin. Dilihatnya ada Mama dan Papanya serta David. Akmal mengatur napasnya sejenak dan terlihat kebigungan.

"Ma, Pa, Juni, mana Juni?" Tanyanya.

"Istrimu ada di dalam, Mal. Kamu segera masuk aja. Juni masih belum melahirkan. Katanya dia ingin nunggu kamu dateng dulu." Jelas Ibu Wijaya.

"Mama Sofia dimana?"

"Sofia di dalam menemani Juni. Udah kamu buruan masuk." Ibu Wijaya langsung mendorong Akmal dan menyuruhnya masuk ke dalam.

Akmal membuka pintu itu sebentar. Berucap permisi dan mencoba untuk masuk sebelum seorang perawat bertanya padanya.

"Saya suami Juni, Mbak."

Akmal pun dipersilahkan masuk. Dia digiring untuk mengikuti perawat yang bertugas untuk ikut dalam proses kelahiran Adek. Setelah sampai pada bilik dimana Juni berada, Akmal langsung mendekatkan diri pada wanita yang terlihat pucat dan banyak peluh di tubuhnya.

"Hei, aku datang. Sayang, aku di sini." Akmal menggenggam sebelah tangan Juni.

Dalam keadaan dan kesadaran yang cukup lemah, Juni menoleh sekilas untuk menatap Akmal yang berada di samping Mamanya. Senyum kecil sedikit Juni sunggingkan kala melihat Akmal berada di sampingnya.

"A-Akmal..." Ucap Juni lirih.

"Ya, Sayang. Ini aku. Aku udah di sini buat jagain kamu." Akmal mengecup tangan Juni.

"Akmal, jangan... pergi ya." Ucap Juni terpatah-patah sambil menahan perih di bawah sana.

"Nggak, Sayang. Aku nggak akan pergi kok. Aku di sini."

"Dok, pasien sudah menunjukkan tanda-tanda akan pembukaan tahap tiga." Ucap salah satu dokter yang melihat proses kelahiran Juni.

Mama yang saat itu ingin ikut membantu proses kelahiran Juni hanya bisa pasrah ketika perawat yang mengantar Akmal tadi berganti untuk memintanya keluar dari ruangan. Hal ini dikarenakan hanya satu orang saja yang boleh menemani pasien dan memberikan semangat pada Juni.

"Ayo, Bu. Coba lagi ya. Tarik napas dan keluarkan perlahan. Coba dorong lebih kuat lagi."

Hampir sekitar empat jam Juni berjuang untuk proses kelahirannya. Peluh semakin membanjiri tubuhnya. Remasan kuat diiringi dengan teriakan Juni menjadikan kamar bersalin tersebut terdengar pilu. Akmal yang sedari tadi menggenggam tangan Juni selalu membisikkan berbagai macam kata penyemangat bagi istrinya tersebut. Genggaman tangannya juga semakin erat. Dalam hati, sepenuhnya doa ia panjatkan pada Tuhan agar selalu memberikan kekuatan bagi Juni dan menjaga istri dan calon anaknya. Akmal tahu bahwa yang namanya melahirkan hanya bagaikan jarak sejengkal dengan kematian. Juni sedang berusaha berjuang mempertaruhkan nyawanya untuk Adek. Dan entah apa yang akan terjadi pada Akmal apabila perjuangan Juni berakhir dan wanita itu meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Akmal menggeleng kuat. Dia tidak boleh berpikiran seperti itu. Seharusnya dia lebih banyak memanjatkan doa agar Juni dan Adek selamat. Agar keduanya selamat dan mampu menjadi penyempurna masa depan bagi Akmal nanti. Masa depan yang telah Akmal idam-idamkan dimana ada Juni dan Adek yang mewarnai kehidupan keluarga kecilnya. Akmal hanya ingin Juni untuk selalu tetap berada di sisinya bersama dengan Adek. Hanya itu.

Larut dalam pikirannya serta doanya, Akmal sampai tidak menyadari jika teriakan terakhir dari Juni adalah pertanda akhir dari wanita itu untuk berjuang melahirkan anak pertama mereka. Jeritan panjang yang disusul dengan suara tangisan bayi mungil yang baru saja lahir dari rahim Juni. Akmal melihatnya. Dia melihat dengan kepalanya sendiri jika anaknya baru saja lahir. Dia pun menoleh dan menatap Juni dengan haru. Air mata lolos begitu saja dari matanya.

JUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang