1. Ikrar Suci dan Sebuah Tanggung Jawab

8.4K 397 5
                                    

Hening!

Dan....

Ketegangan.

Menyelimuti sebuah ruangan berukuran 4x6 meter sebuah rumah mewah. Hamparan permadani menjadi alas bagi para hadirin yang hadir. Ini bukan acara lantunan doa yang digelar setelah ada seorang kerabat yang berpulang. Ini adalah bagian terpenting dari lembar catatan hidup siapa pun yang menghadiri acara sakral ini.

Beberapa orang terlihat menatap haru kedua mempelai di depan sana. Sedangkan beberapa lainnya, pipinya sudah basah bersimbah air mata. Sesekali terdengar suara samar tangisan. Suasana mengharu biru pun semakin bertambah, tatkala mempelai pria terus mengulang proses ijab kabulnya. Tangannya yang menjabat tangan penghulu bergetar hebat. Peluh meluncur cepat dari pelipisnya. Degup jantungnya berdetak dengan cepat, tubuhnya terasa lunglai. Namun, apa boleh buat, kewajiban sebagai anaklah yang membuatnya duduk di sana. Memikul semua beban dua keluarga besar. Sebuah janji dan sebuah tragedi naas seolah menyeretnya pada palung masalah yang tak ada ujungnya.

"Saya terima nikahnya, saudari Jessica ...," ucapnya terhenti, lidahnya kelu seketika, untuk meneruskan ucapan nama keluarga mempelai wanitanya.

Beberapa orang menatapnya dengan tatapan haru bercampur iba. Bulir-bulir peluh sudah merembas, membasahi kemeja putih yang terbalut jas hitam. Susah payah, ia menelan ludah, berkali-kali ia menghela napas dengan kepala tertunduk. Wajahnya terlihat semakin memucat.

Semua orang menunggu, mendengar dirinya untuk melanjutkan ucapan ikrar sucinya.

Cukup lama ia terdiam.

Membuat semua keluarga kecil yang menghadiri prosesi suci itu menjadi cemas.

Mempelai pria itu, meninggikan kepalanya perlahan. Ia menghirup napas dalam-dalam.

Sebelum memulai, ia berdeham pelan.

"Saya terima nikahnya, saudari Jessica Veranda binti Tanumiraharja--" Suaranya bergetar hebat.

"Tanumihardja," ralat cepat penghulu.

Membuat pria muda itu, menahan napasnya. Matanya sudah memerah, berkaca-kaca, menahan rasa tegang dan takut. Ini bukan rasa takut biasa, melainkan ketakutan besar akan sebuah tanggung jawab. Sebuah tanggung jawab yang harus ia pikul demi sebuah nama besar kedua keluarga. Ia hanya takut, jika dirinya tidak mampu mengemban tanggung jawab sebesar itu dengan baik. Yang malah berakhir mengecewakan semua pihak.

Usapan lembut di bahunya, membuatnya tersentak. Ia menoleh, senyuman seseorang langsung membuatnya tenang. Di sebelahnya, mempelai wanita terus tertunduk lemah, menyembunyikan bulir-bulir air mata yang terus tumpah. Merusak riasan wajah cantiknya. Bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, menahan suara tangis yang nyaris lolos.

Pria muda itu mengangguk, tersenyum samar ke arah seseorang yang tengah tersenyum lembut padanya. Pancaran mata seseorang itu membuatnya tenang. Kilatan mata itu seolah berkata, 'semuanya akan baik-baik saja, Nak!'

Pria muda itu membuang napas panjang, ini kedua kalinya, ia harus mengulang ikrar suci yang harus ia ucapkan di depan semua orang yang hadir di sini. Sebuah janji suci yang akan mengikat dua insan untuk selamanya.

Apa pun alasan dibalik sebuah ikrar suci yang telah ia ucapkan. Itu sudah cukup membuatnya terikat kuat dalam ikatan suci dua insan, selamanya. Ia pun sadar akan hal itu, bahkan amat sangat sadar. Namun, lagi-lagi kewajiban sebagai anaklah yang membuatnya suka tidak suka, mau tidak mau, turut mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi sebuah nama baik kedua keluarga besar. Dan sebuah janji.

Sebelum melanjutkan kembali, ia tampak terus menarik napas, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Rasa tegang, seolah membuatnya kesulitan bernapas. Berkali-kali ia menghela napas, guna menyamarkan rasa tegang yang terus menerus menyergap dirinya. Semua pasang mata yang hadir menatap punggung mempelai pria yang masih terbilang sangat muda dengan tatapan cemas.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang