45. Sakit!

3K 377 29
                                    

"Woi, Kinal!"

Sebuah sikutan yang diberikan Boby membuat saya langsung tersentak kaget. Saya menoleh, Boby tampak mencebik ke arah saya.

"Kenapa Bob?" tanya saya dengan suara sepelan mungkin. Maklum saja, karena sekarang ini jam pelajaran sedang berlangsung.

Boby mendesah. "Lo tuh, ya. Bisa enggak, sih. Natap istri lo biasa aja. Tampang lo kayak orang bego tahu, enggak." Boby membuang muka, menatap lurus ke arah Kak Ve yang memang sedang menerangkan di depan kelas.

Saya hanya berdeham, berusaha menutupi rasa malu karena sudah tertangkap basah memandangi wajahnya—istri saya—Bu Veranda. Entahlah ... mata ini seolah enggan berkedip sedikit pun untuk terus mengaguminya. Dan entah sejak kapan, saya menjadi seperti ini. Kak Ve seolah menjadi seperti magnet bagi saya. Ia seakan-akan seperti titik pusat gravitasi bagi saya. Saya pun tidak terlalu mengerti tentang ini. Yang pasti, saya ingin terus memandanginya. Di mana pun dan kapan pun.

"Yang benar, Bob? Saya ...."

"Nih, kalau lo enggak percaya." Boby mengulurkan ponsel pintarnya di atas meja. Mata saya langsung membola begitu melihat potret diri saya yang memang seperti orang gila terpampang di layar ponsel Boby. Senyum-senyum sendiri sambil menopang dagu. Dan entah kapan, ia mengambilnya. Kak Ve sudah benar-benar membuat saya khilaf akan sekitar saya.

Saya hanya menyengir sambil garuk-garuk kepala. "Bakal dihapus kan, Bob?"

"Ya, enggaklah. Buat kenang-kenangan. Kapan lagi kan gue lihat wajah bego lo kayak gini," ucap Boby menyambar ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku kemeja seragam.

Jika sudah seperti itu, tidak ada yang bisa saya perbuat. Dan saya tidak ingin berdebat dengannya di tengah jam pelajaran seperti ini karena efeknya akan berbahaya.

Lagi, saya buang pandangan saya ke depan. Saya menantapnya kembali yang tengah menerangkan tentang Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Orde Baru. Dan Kak Ve selalu terlihat sangat cantik. Saya rasa, saya sudah kehilangan ungkapan apa pun untuk menggambarkan semua yang ada padanya. Bagi saya, ia terlalu sempurna. Dan saya beruntung, bisa menjadi suaminya. Penjaga hatinya, meski terkadang rasa takut sekali-kali menghantui saya.

"Yaelah, Nal! Udah kali natapnya! Bu Veranda emang cantik. Eh salah, deh. Istri lo emang cantik. Lama-lama, lo cuma bikin gue iri tahu, enggak. Gue jadi pengin cepet nikah kalau begini ceritanya," gerutu Boby dengan tatapan lurus ke depan.

Saya hanya bisa mengurai senyum mendengar perkataan Boby. "Sori, Bob. Saya sampai lupa diri gini," bisik saya. Saya tidak ingin seorang pun mendengar percakapan kami.

"Jangan bilang, kalian udah?" Boby menatap saya dengan tampang penuh selidik.

Saya hanya menautkan kedua alis saya. Masih belum mengerti maksud perkataannya. "Udah apa?"

Boby menghela napas pendek. Tanpa bicara sedikit pun ia mulai menggoreskan pensilnya pada buku Sejarah yang ada di hadapannya. Dan saya hanya bisa menerka-nerka apa yang akan Boby gambar.

"Udah ini, maksud gue!" Boby menyodorkan hasil gambarannya. Saya pun langsung terbatuk-batuk begitu menyadari gambar buatan Boby. Gambar itu, um ... seperti gambar dua orang yang sedang bercinta dengan gaya tertentu. Sama seperti yang pernah saya lihat di internet. Salah satu gaya yang tergambar pada buku Kamasutra.

Ya Tuhan!

Bagaimana bisa Boby begitu hafal pose itu.

Mendadak semua pasang mata menatap ke arah saya. Begitu juga dengan Kak Veranda. Ia langsung berjalan mendekati meja saya. Dengan terburu-buru saya menyingkirkan gambar buatan Boby. Menutup buku itu dan menyimpannya di kolong meja.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang