49. Menyerah

2.8K 364 25
                                    

"Kondisi kandungannya sangat baik. Posisi bayinya juga sudah bagus. Hanya tinggal menunggu beberapa minggu lagi. Istirahat yang cukup dan tidak terlalu stres akan sangat baik untuk Nyonya Veranda," ucap Dokter Laras. Sambil menggerakkan alat menyerupai tongkat kecil yang bergerak sembarang di perut buncit Veranda. Sambil menatap ke alah layar yang ada di hadapannya.

Kinal setia berada di samping Veranda. Duduk seraya terus menggenggam erat jemari Veranda. Sekali-kali, pandangannya teralih pada layar datar yang tersemat di atas sudut ruangan praktek Dokter Laras. Senyum mengembang sempurna di bibir Kinal. Melihat tampilan si kecil pada layar di atas sana. Kinal begitu takjub, bisa melihat jemari mungil si kecil yang sudah terbentuk sempurna.

"Apa Nyonya dan Tuan, tidak ingin mengetahui jenis kelaminnya?" tanya Dokter Laras.

Veranda langsung menggeleng. "Tidak perlu diberitahu, Dok. Biar jadi kejutan untuk kami. Apa pun jenis kelaminnya, kami berdua sangat menantikan kelahirannya," jawab Veranda kemudian menatap wajah Kinal dengan pancaran cintanya. Ia balas merengkuh jemari Kinal tidak kalah erat seraya mengurai senyum terbaiknya.

"Baiklah, jika itu permintaan Nyonya dan Tuan."

Kinal dan Veranda pun keluar dari ruangan praktek Dokter Laras dengan penuh kelegaan dan kebahagiaan. Syukurlah perkembangan si kecil terbilang sangat sehat. Hari gelap baru saja menjelang. Saat Kinal dan Veranda keluar dari lobi rumah sakit. Kinal melirik jam tangannya. Mendongak, menatap sekilas seberkas sinar kecil redup yang menghiasi langit kelam.

"Gimana, kalau kita makan di luar aja?" Kinal membuka suara.

Veranda menoleh lalu berkata, "Boleh. Saya ikut aja."

Keduanya pun berjalan bersisian. Veranda menggandeng lengan Kinal dengan sedikit manja. Mereka mencari makan malam yang letaknya tidak jauh dari kawasan rumah sakit.

"Gimana kalau kita makan di sana aja?" Telunjuk Kinal mengarah ke warung angkringan yang letaknya di tepi taman yang ada tidak jauh dari kawasan rumah sakit. Makan di tempat terbuka seperti ini cukup menyenangkan. Begitulah pikir Kinal. Dan harganya yang bersahabat dengan kantung menjadi bahan pertimbangan Kinal lainnya.

"Boleh." Veranda mengangguk.

"Kak Ve mau makan apa?" tanya Kinal saat mereka sudah mengambil posisi duduk di dalam tenda angkringan tersebut.

Veranda memindai lauk pauk yang tersaji di kaca etalase. Suasana warung angkringan masih terbilang sepi. Letaknya yang cukup jauh dari jalan utama membuat keheningan makin terasa. Namun, tidak mengurangi kenyamanan dan juga kebersihannya.

"Um ... saya mau nasi kucing. Lauknya pake sate telur puyuh, tempe bacem dan mendoan. Oh iya, sate ati ayamnya juga. Minumnya es jeruk aja," ucap Veranda tersenyum.

Kinal menangguk dan mulai memesan pesanan Veranda. Ia pun menyamakan menunya dengan menu Veranda.

"Maaf, ya. Saya cuma bisa ngajak Kak Ve makan malam di sini," tutur Kinal sambil menatap wajah Veranda.

Gelengan langsung diberikan oleh Veranda. "Enggak apa-apa, Kinal. Saya senang sekali. Kamu enggak usah ngerasa gimana-gimana, ya." Veranda menggenggam tangan Kinal.

Senyum Kinal kembali merekah sempurna. Ia lega, Veranda tidak terlalu pilih-pilih tempat dan makanan. Beberapa saat kemudian, pesanan keduanya pun datang. Keduanya mulai menyantap makanannya masing-masing sambil mengobrol ringan. Selesai makan, keduanya memilih untuk berjalan-jalan sebentar sambil menikmati udara malam dan mengagumi pemandangan wajah malam hari.

Langkah Veranda terhenti tepat di sebuah toko perlengkapan bayi. Sepasang matanya mengarah ke arah sepatu rajut yang terpajang di kaca etalase toko tersebut. Matanya berbinar terang, menatap sepasang sepatu rajut biru yang terlihat sangat lucu. Kinal terdiam, mengikuti arah pandangan Veranda.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang