39. Kerapuhan dan Sebuah Pilihan

2.6K 376 24
                                    

Wulan terus memerhartikan Kinal yang tampak tercenung di ruang tengah. Jika diperhatikan sekilas, Kinal memang terlihat sedang asyik menonton acara kartun yang sedang tayang. Namun, jika dicermati lagi, ia jelas-jelas sedang melamun. Tatapannya kosong, sama sekali tidak menikmati tontonan yang tengah disuguhkan.

Helaan napas panjang meluncur dari bibir Wulan, ia melangkah mendekati Kinal. Menyambar remote dan mematikan TV. Benar dugaannya, Kinal sama sekali tidak menonton. Ia hanya termenung. Merasa tidak tega dan sangat cemas dengan keadaan Kinal, Wulan mengusap lembut bahu putra bungsunya lalu bertanya, "Serius sekali nontonnya. Lagi nonton apa, sih?"

"Lagi nonton kartun, Ma. Acaranya seru," gumam Kinal masih dengan tatapan kosong. Hati Wulan pun semakin terenyuh melihat Kinal yang terlihat begitu tertekan dalam diam. Beban pikiran Kinal saat ini (mungkin) sedang berat-beratnya. Tidak seperti biasa, walaupun ada masalah sebesar apa pun, Kinal selalu berusaha terlihat biasa saja bahkan selalu tampak ceria. Akan tetapi, tidak kali ini, Kinal lebih banyak melamun, konsentrasinya benar-benar terganggu. Entah apa yang tengah dipikirkannya.

Wulan menggeser posisi duduk Kinal. "Iya, ya. Saking serunya, TV-nya sampai enggak ada gambarnya gitu," sindir Wulan kemudian menggenggam tangan Kinal.

Lewat sentuhan jemari Wulan, ia seolah mendapatkan kesadarannya kembali, tubuh Kinal tersentak beberapa saat. Ia melirik genggam erat tangan Wulan dan baru menyadari TV-nya sudah mati entah sejak kapan. "Maaf, Ma." Hanya kata itu yang terlontar dari bibir Kinal kemudian ia tertunduk lesu.

Wulan meremas lembut tangan Kinal yang sedikit dingin. "Kamu kenapa? Hm? Ada masalah?" Ia memerhatikan lekat wajah putus asa putra satu-satunya, kini, dari samping. "Ah, pertanyaan bodoh! Tentu saja kamu punya masalah," ralat Wulan. "Kalau begitu, mau berbagi dengan mama?"

Kinal mengangkat wajah, menoleh ke Wulan, dan menatap roman Wulan dengan tatapan sendu. Kepalanya bergerak pelan ke kiri ke kanan. "Terima kasih, Ma."

"Kenapa kamu enggak mau cerita sama mama? Apa mama bukan orang yang bisa dipercaya?" cetus Wulan sambil mengusap bahu Kinal.

Bergeming, Kinal hanya memerhatikan wajah Wulan dalam diam lalu menggeleng. "Bukan seperti itu. Hanya saja, Kinal merasa ... Kinal ...," Ia menghela napas pelan. "Saat ini, Kinal enggak bisa ceritain ini ke Mama. Maaf." Lagi, ia membungkuk lemah.

"Apa masalah sekolah kamu? Oh iya, mama dapat undangan rapat dari sekolah kamu. Masalahnya tidak akan jadi serumit ini, andai saja kamu mau menceritakan kejadian yang sebenarnya ke Veranda, sayang. Kalau kamu emang enggak mau cerita ke dia, kamu bisa cerita ke mama. Gimana? Hm?"

Membeku, lagi-lagi Kinal hanya menggeleng pelan."Kinal akan selesaikan masalah ini dengan cara Kinal, Ma."

"Boleh Kinal tanya sesuatu?" tutur Kinal tanpa mengangkat kepala sedikit pun.

"Tentu saja boleh. Mau tanya apa? Hm?"

Kinal menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya cepat. Dalam tertunduk dia berkata, "Seandainya, Kinal dikeluarkan dari sekolah atau bahkan Kinal dipenjara? Apa Mama masih mau anggap Kinal sebagai anak Mama?"

"Sayang!" seru Wulan dengan suara melengking. "Kenapa kamu ngomong gitu?" Nada suaranya memelan, hatinya seolah teremas mendengar ucapan Kinal barusan. Putus asa dan kerapuhan kali ini benar-benar menggerus sisi pribadi putranya.

Kepala Kinal terangkat, ia balas menggenggam tangan Wulan. "Kinal merasa, Kinal sudah menjadi anak yang gagal untuk Mama. Kinal hanya anak yang tidak punya masa depan. Seandainya, Kinal dikeluarkan dari sekolah dan bahkan dipenjara nanti? Apakah Mama malu punya anak seperti Kinal?" Sepasang mata Kinal yang terhalang lensa kacamata terlihat berkaca-kaca.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang