30. Tidak akan Pernah!

2.6K 346 47
                                    

Saya mengamati Mama yang tengah sibuk melipat pakaian di ruang tengah. Sejak kepergian Papa, Mama memang terlihat biasa saja. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Selalu mengumbar senyum renyahnya setiap kali berbincang dengan saya atau Kak Ve. Menjalankan aktivitas rumah tangga seperti biasa.  Akan tetapi, satu hal yang saya ketahui, sepandai-pandainya Mama menyembunyikan rasa kehilangannya, tetap saja, senyumnya terlihat jauh berbeda dibandingkan sebelumnya. Saat Papa masih ada. Segala kerapuhan Mama bisa saya lihat dari pancaran matanya. Setelah kepergian Papa dan Kak Kinan, lubang di hatinya pasti semakin terbuka lebar. Kehilangan dan kesendirian, siapa yang suka dengan hal itu. Saya pun tidak.

Meski Mama selalu berkata tidak apa-apa dan selalu memamerkan senyumnya. Saya yakin, jika semuanya pasti tidak baik-baik saja. Tidak pada hatinya juga hidupnya. Karenanya saya hanya bisa terus berusaha tidak mengungkit perihal kepergian Papa dan Kak Kinan. Seolah-olah kami berusaha melupakan hal yang tidak akan mungkin bisa dilupakan. Karena kami lebih memilih untuk menyimpan rapat-rapat semua kenangan tentang mereka di dasar hati kami masing-masing.

Saya menghela napas panjang, antara ragu dan sedikit tidak enak karena harus membicarakan hal ini. Tapi mau bagaimana lagi, saya harus izin dulu pada beliau. Karena izin dari beliau adalah hal terpenting dalam hidup saya.

Dengan sedikit gugup, saya menghampiri Mama lalu mengambil posisi duduk di sebelah kirinya. Gerakan tangan Mama terhenti, dan menoleh ke arah saya. Lagi, senyum itu langsung tersimpul otomatis di bibirnya.

"Kamu mau antar Veranda periksa, ya," ujar Mama kemudian melipat bagian lengan kemeja yang ada di pangkuannya.

Saya hanya mengangguk, mengiyakan ucapan Mama. "Kinal lagi nunggu Kak Ve, Ma."

Isi kepala saya terus merangkai kata-kata sekadar mencari kalimat pembuka yang tepat. Susunan kalimat pun sudah berderet rapi hanya tinggal mengantri untuk dikeluarkan. Namun, tiba-tiba saja nyali saya menciut. Saya khawatir jika Mama tidak akan menyetujui dan memberi izin.

"Ada yang mau kamu omongin?" Mama menengok, wajahnya terlihat seperti sudah tahu maksud saya. Seperti seorang cenayang.

Saya berdeham pelan, berusaha mengumpulkan keberanian saya yang entah sejak kapan tercecer menjadi serpihan tak kasat mata. "Iya, Ma. Ada yang mau Kinal omongin ke Mama. Cuma, Kinal ragu," ujar saya berterus terang. Karena bagaimanapun juga, saya tidak pernah bisa menyembunyikan apa pun dari Mama. Mungkin, karena insting seorang ibu memang sangat kuat. Itu yang pernah saya baca di sebuah jurnal parenting. Dan Mama termasuk orang yang sangat peka terhadap masalah anak-anaknya

Mama meletakkan lipatan baju pada tumpukan paling atas. Mengubah posisi duduknya menghadap saya. "Kenapa ragu? Kalau ada yang mau kamu omongin, omongin aja. Kayak ngomong sama siapa aja," tutur Mama dihiasi senyum khasnya. Tangannya menggenggam lekat tangan saya.

Saya pun menghela napas lega, lalu mulai membuka suara. "Kinal mau izin kerja paruh waktu di tempat pencucian mobil milik Om-nya Jinan, Ma."

Sepasang mata Mama langsung menghujami keras retina saya. Saya hanya bisa meneguk ludah, ketika ekspresi Mama berubah drastis.

"Kenapa kamu harus kerja paruh waktu segala? Kamu lagi butuh uang?"

Takut-takut saya mengangguk. "Iya, Ma. Kinal sedang butuh uang."

Suara helaan napas panjang Mama terdengar jelas di telinga saya. Saya hanya bisa meremas jari-jemari, menunggu Mama mengucapkan kalimat berikutnya. "Kalau kamu butuh uang, Mama masih bisa kasih ke kamu, Kinal. Kenapa harus kerja paruh waktu segala? Memangnya kamu mau beli apa?" Pertanyaan itu meluncur lancar dari bibir Mama. Sorot matanya masih terlihat tidak suka dengan ide sinting saya. Bukannya belajar untuk persiapan UTS atau bahkan ujian akhir, sempat-sempatnya saya memikirkan hal gila seperti itu.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang