My Secret Lover [END]

41. Maaf

*****

Aku terus melirik jam tanganku, degup jantungku terpacu semakin tidak keruan. Rapat penentuan hidup dan mati Kinal akan dimulai sekitar lima belas menit lagi. Tidak, kurasa ... kata hidup-mati terlalu menakutkan digunakan untuk menjabarkan bagaimana perasaan yang sedang berkecamuk di hati dan pikiranku saat ini. Dan sepertinya, aku ... aku tidak menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan bagaimana situasi yang sedang aku hadapi sekarang ini.

Pikiranku terus tertuju pada Kinal.

Bagaimana masa depan anak itu jika dikeluarkan dari sekolah?

Bagaimana hidupnya jika harus mendekam di penjara?

Tidak, itu benar-benar sangat menakutkan walau sekadar untuk dibayangkan. Sudah cukup aku yang menjadi sebab segala kesusahan dan penderitaan yang Kinal alami selama ini. Yang jelas, apa pun yang terjadi ke depannya nanti. Aku akan selalu ada di sisinya. Aku akan terus berada di sampingnya. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan Kinal.

Suasana hening ruang guru semakin membuatku tidak nyaman. Maklum saja, akhir pekan seperti ini, sekolah hanya mengadakan kegiatan ekstrakulikuler.

Ya Tuhan!

Aku jadi segugup ini.

Kuharap, akan ada keajaiban kecil dari-Mu. Semoga saja, hati Pak Herman melunak dan mau melupakan masalah ini. Syukur-syukur mau mengurungkan niatnya untuk memenjarakan Kinal.

"Bu Veranda!"

Suara Bu Yona langsung mengalihkan lamunanku. Lagi, yang bisa kulakukan saat ini hanya terus menengok jam tanganku berkali-kali.

"Ibu kelihatan tegang sekali?" Bu Yona menarik kursi duduk di sampingku.

Aku hanya menghela napas pelan, lidahku terlalu kelu untuk menanggapi pertanyaan Bu Yona. Terang saja aku tegang, karena bagaimanapun juga ini menyangkut masa depan suamiku.

Suami?

Iya, Kinal adalah suamiku. Ingin sekali rasanya mengutarakan itu pada Bu Yona.

Oh iya, aku merasa sedikit terusik dengan kehadiran Bu Yona di ruang guru ini. Merasa tergelitik rasa ingin tahu, aku pun bertanya, "Tumben sekali, Bu Yona masuk hari ini," tuturku.