51. Akhir

4.8K 367 88
                                    

Enam tahun kemudian....

"Ayah! Ayah!"

"Ayo, bangun!"

"Terjadi sesuatu dengan Rilo. Rilo hilang, Ayah! Bukan, tubuhnya berubah." Suara anak perempuan berambut panjang itu terus mengetuk gendang telinga Kinal. Kinal menggeliat kecil di balik selimutnya.

"Sebentar lagi ya, Cilla. Ayah masih ngantuk," ucap Kinal tanpa membuka mata. Ia membetulkan posisi bantalnya dan kembali menenggelamkan wajahnya pada bantal empuk.

Cilla langsung naik ke tempat tidur dan menduduki punggung Kinal. "Ayah harus bangun sekarang! Kasihan Rilo, Ayah!" Cilla mengguncang-guncang tubuh Kinal. Seakan-akan ia tengah menaiki seekor kuda.

Kinal mendesah, mendapati kelakuan putrinya. "Baiklah, Ayah akan bangun. Tapi ... Cilla turun dulu dari punggung ayah, ya."

Cilla pun segera turun dari punggung Kinal. Kinal membalikkan tubuhnya, terlentang. Ia melirik wajah masam Cilla yang tengah melipat tangan.

"Cepatlah, Ayah!" Cilla menarik-narik tangan Kinal.

"Iya, iya. Ayah bangun." Kinal beranjak duduk. Menguap kecil. Mencoba mengusir sisa kantuk yang masih terasa di pelupuk matanya.

"Ayolah, Ayah!" Cilla menarik cepat tangan Kinal. Tidak sabaran.

Kinal meraih cepat kacamatanya yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur. Ia menggaruk sebentar kepalanya. Kelakuan Cilla benar-benar mengganggu waktu tidurnya. Padahal, ini akhir pekan, Kinal ingin beristirahat lebih lama lagi setelah seharian ... tidak ... enam hari full bekerja tanpa kenal waktu.

"Di mana Bunda?"

Cilla menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah Kinal. "Bunda sudah di taman. Menjaga Rilo."

Kinal tersenyum lebar mendengar celoteh lucu Cilla. Keduanya menuruni anak tangga dengan sedikit tergesa.

"Hati-hati, Cilla! Jangan cepat-cepat!" ujar lembut Kinal. Sambil mengawasi langkah tergesa Cilla menuruni anak tangga.

"Kasihan Rilo, Ayah! Kita harus cepat!" Hanya kata-kata itu yang terlontar dari bibir mungil Cilla.

Kinal melirik jemari kecil Cilla yang menggenggam erat jari-jarinya dengan sangat erat.

Begitu tiba di bawah anak tangga. Cilla langsung melepaskan genggaman tangannya dan berlari cepat menuju taman.

"Jangan lari, Cilla! Nanti jatuh," seru Wulan dari ruang tengah.

Kinal tersenyum melihat Wulan yang tengah sibuk dengan aneka bahan rajutan. Ia tengah merajut sebuah kaus kaki untuk si kecil. Kacamata bantu menghiasi pangkal hidungnya.

"Pagi, Ma!" sapa hangat Kinal mengecup pipi Wulan.

"Pagi, sayang! Tumben, kamu sudah bangun," tutur Wulan melirik jam dinding yang tersemat di dinding tengah ruangan keluarga.

Kinal hanya cengengesan sambil menggaruk tengkuknya. "Maklum, Ma. Ini semua ulah Cilla."

Senyum Wulan langsung mengembang indah. "Anak itu!" Ia menggelengkan kepalanya.

"Ayah, cepatlah!" pekik Cilla dari arah taman belakang rumah baru Kinal.

"Kinal ke sana dulu, Ma." Kinal langsung bergegas menyusul Cilla.

Cilla yang tidak sabaran langsung menarik tangan Kinal begitu saja. "Kenapa Ayah lama sekali? Kasihan Rilo!" protes Ciila.

Rekahan senyum Kinal langsung terukir indah menghiasi bibirnya saat melihat Veranda di sana. Ia berdiri mematung, mengagumi Veranda yang berdiri di dekat tanaman bunga yang tersirami mentari pagi. Tubuh Veranda terlihat berkilau. Helaian rambut panjangnya berkibar terterpa udara pagi. Kinal melangkah mendekati Veranda.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang