34. Sisi Lain Seorang Kinal

3.4K 408 97
                                    

Aku tersenyum sambil merutuki kelakuan konyol nan bodohku beberapa waktu lalu. Entah keberanian dari mana aku mengecup pipi Kinal begitu saja. Kupandangi wajahku sendiri yang masih terus memamerkan senyum konyol pada cermin yang ada di hadapanku. Nyaris seperti orang gila!

Oh tidak, kurasa, aku memang sudah gila.

Dasar Veranda bodoh!

Setelah kejadian itu hubunganku dengan Kinal memang semakin membaik, meski kecanggungan masih terus menyelimuti kami berdua. Aku tidak tahu, apa yang kurasakan atasnya. Benarkah cinta? Atau hanya sebatas perasaan sesaat. Semu ataukah perasaan di mana aku masih melihat bayang-bayang Kinan dalam diri Kinal. Jika perasaan itu bernama cinta, mungkinkah secepat itu? Aku masih terus bertanya pada diriku sendiri, benarkah apa yang kurasakan untuk Kinal sekarang ini, adalah perasaan cinta? Tanganku terus bergerak, menyisir rambut panjangku yang sedikit basah sambil memandangi pantulan wajahku di depan cermin. Isi kepalaku masih terus menyakinkan diriku sendiri. Benarkah ini perasaan cinta?

Drt... Drt....

Ponsel Kinal yang bergetar langsung menyentak kesadaranku. Aku pun langsung menuntaskan sisiran terakhirku. Suara air yang jatuh masih bisa kudengar dari arah kamar mandi. Kuhampiri ponsel Kinal yang tergeletak di meja belajar. Melihat sekilas ke arah layar ponsel tersebut sekadar memastikan siapa yang menelepon Kinal.

+62821-8808-XXXX calling....

Antara ragu karena tidak ingin mengangkatnya, aku hanya memerhatikan ponsel itu terus bergetar. Meraung meminta untuk segera diangkat. Kulirik pintu kamar mandi, sepertinya Kinal masih mandi. Seolah tidak ingin membuat kesal siapa pun yang tengah menelepon Kinal, akhirnya, kuputuskan untuk mengangkatnya.

Halo!

Selamat sore, Tan! Ini Sinka, Kinalnya ada?

Kerongkonganku mendadak terasa kering, mendapati Sinka-lah yang menelepon Kinal. Ternyata, gadis itu benar-benar melakukan apa yang diucapkannya di malam itu.

Aku berdeham pelan.

Sore, Kinalnya lagi mandi. Bisa telepon lima menit lagi?-ucapku begitu saja.

Baik, Tan. Nanti saya telepon kembali.

Setelah mengucapkan itu sambungan telepon pun terputus. Helaan napas meluncur begitu saja, bodoh! Ada apa denganku? Kenapa harus memintanya menelepon lagi? Bukankah seharusnya aku bilang kalau aku ini istrinya Kinal. Jadi, berhentilah meneleponnya.

Apa aku cemburu?

Benar, aku tidak suka jika siapa pun mendekati Kinal. Bukankah itu sudah bisa membuktikan. Jika apa yang kurasakan adalah benar-benar cinta. Entahlah, aku hanya tidak yakin kalau harus secepat ini.

"Telepon dari siapa, Kak?"

Aku terkesiap, Kinal muncul begitu saja di sampingku. Aroma harum dari sabun membuat kesadaranku sedikit tergerus. Aku melangkah satu langkah menjauh, karena tubuh Kinal terlampau dekat.

"Ah iya, maaf. Saya udah enggak sopan." Aku menyerahkan ponsel miliknya.

Kinal menggeleng sambil menyimpulkan senyum halusnya. "Enggak apa-apa, Kak. Saya enggak mau menyembunyikan apa pun dari Kakak. Termasuk siapa aja yang menelepon saya, Kak Ve emang perlu tahu."

Entah kenapa aku langsung merasa lega begitu mendengar penuturannya. Kinal benar, sebaiknya, dalam kehidupan rumah tangga kami, kami saling terbuka satu sama lain. Ternyata, untuk urusan satu ini, Kinal benar-benar lebih dewasa dariku.

"Oh iya, saya hampir lupa. Tadi Sinka yang telepon kamu. Tapi, saya sudah bilang su-"

Pandangan Kinal langsung teralihkan pada ponselnya bergetar. Baru saja diomongi, gadis itu sudah menelepon kembali. Kinal terlihat canggung mengangkat panggilan itu. Sepasang matanya terus melirik ke arahku.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang