Kinal menguap lebar, sepasang tangannya mengudara guna merenggangkan otot-otot punggung yang terasa pegal dan kaku. Melepaskan kacamata sejenak, berusaha untuk mengurangi efek mata lelah karena sejak tadi menatap layar komputer. Kinal menghela napas, berjalan ke arah balkon kamar. Mentari mnyeringai cerah, menyirami tubuhnya yang sejak semalam belum mengistirahatkan tubuh. Untung saja, hari ini, hari minggu. Setidaknya, nanti siang Kinal bisa beristirahat—tidur siang. Begitulah pikirnya.
Pikirannya kembali mengelana pada kejadian malam tadi. Di mana Veranda memintanya untuk menemaninya. Menggenggam tangannya erat sambil terus menracau menyebut nama 'Kinan'. Kinal benar-benar tidak tega mendengar itu semua. Karenanya, sejak semalam ia terus terjaga menjaga Veranda.
Kinal menarik napas dalam-dalam, memenuhi rongga dadanya dengan udara pagi yang terasa masih segar, sejuk, dan tentu saja bersih. Memejamkan matanya sejenak. Mencoba untuk merilekskan pikirannya barang sekejap. Detik berikutnya, ia kembali melangkah masuk menuju kamar mandi sekadar memulai acara bersih-bersih.
Kinal menyambar celemek yang ada di sudut dapur. Dengan langkah panjang, ia merendahkan tubuhnya. Memeriksa isi lemari es. Ternyata, persediaan bahan makan sudah menipis. Kinal berjalan ke arah lemari, mencari sereal. Suara denting aneka alat masak memecah suasana dapur.
Selesai!
Seringaian terukir di bibir Kinal begitu selesai mem-plating sarapan yang baru saja dibuatnya. Satu mangkuk sereal yang dicampur aneka buah potong—apel, stroberi, dan pisang. Tak ketinggalan segelas susu hangat khusus ibu hamil.
Kinal berdeham pelan. Kemudian membawa nampan itu ke lantai dua—kamar Veranda. Sebelum mengetuk pintu, Kinal mengembuskan napas perlahan. Mengatur ritme jantungnya yang sedikit tidak beraturan. Lagi, Kinal menarik napas pelan sebelum tangannya terangkat, mengetuk daun pintu kamar Veranda dengan ritme teratur.
Tok!
Tok!
Tok!
Suara seruan dari dalam membuat Kinal menarik handle pintu itu. Pelan-pelan ia mendorongnya, membuka lebih lebar daun pintu itu lalu menyembulkan sedikit kepalanya. Melihat ke dalam kamar. Veranda masih terbaring di ranjang.
Kinal melangkah dengan sedikit canggung. "Um ... saya bawain sarapan pagi untuk Kak Ve," ujar Kinal selagi meletakkan nampan yang dibawanya ke nakas yang ada di samping tempat tidur Veranda.
Veranda membuka matanya perlahan, menoleh ke arah Kinal lalu mengurai senyum. Hati-hati, ia hendak beranjak duduk. Kinal yang melihat Veranda tampak sangat lemah langsung mengulurkan sepasang tangannya sekadar membantu Veranda bangun.
"Hati-hati, Kak!"
Veranda mengangguk, menyandarkan punggungnya pada bahu tempat tidur. "Terima kasih."
"Kalau gitu, saya tinggal dulu. Kalau ada apa-apa, saya ada di depan," ujar Kinal sambil menaikkan kacamatanya lalu hendak berlalu.
Veranda mengerang samar, kala sebuah keinginan kembali terbit di kepalanya. Membuang napas panjang karena harus bergelut dengan pikirannya sendiri. Masa-masa hamil muda seperti ini benar-benar nyaris membuatnya frustrasi. Dengan suara lemah, Veranda memberanikan dirinya menghentikan langkah Kinal yang sudah hampir di ambang pintu.
"Tunggu, Kinal!"
Kinal menoleh, wajahnya tampak sedikit tegang. "I-iya, Kak. Ada apa?"
Veranda membetulkan posisi sandarannya. Sepasang tangannya meremas kuat selimut yang membalut sebagian tubuhnya. Lalu berdeham pelan.
"Um ... boleh saya minta tolong lagi?" ujar Veranda malu-malu.
Kinal mengangguk lalu mendekat kembali ke arah Veranda.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Lover [END]
Fanfiction[17+] Ini hanyalah kisah tentang hubungan dua insan dengan segala kerumitan di dalamnya. Attention! Jangan buka cerita ini! Jika tidak ingin kecewa.... Happy Reading!