26. Kabar Duka

2.5K 356 37
                                    

Aku mematut sejenak penampilanku, menyisir rambut dengan jemari. Tidak terlalu buruk juga. Mungkin karena efek mengantuk yang tiba-tiba menyergap membuat penampilanku sedikit berantakan. Kuraih keran dan membukanya. Air jernih langsung menyembur kemudian membasuh wajahku untuk mengusir rasa kantuk yang sejak tadi menyerang.

Ah, aku jadi teringat senyum Kinal. Entah sejak kapan, senyumnya terus bergelayut di pikianku. Rasanya, aku suka sekali melihatnya tersenyum. Wajahnya terlihat begitu cerah dan berkilau ketika sedang tersenyum. Mungkin, karena Kinal begitu bahagia mendengar kabar jika Mama dan Papanya akan pulang hari ini. Setidaknya, aku merasa lega dan tenang melihat Kinal yang  terlihat bahagia seperti itu.

Sejak mendapat kabar itu, kemarin sore, senyumnya seolah enggan pudar dari bibirnya. Pagi tadi pun, ketika kami sarapan bersama. Senyum itu terus menghiasi bibirnya. Ya Tuhan, apa yang sedang aku pikirkan. Apakah aku diam-diam mulai mengaguminya? Siapa juga yang akan menolak untuk tidak mengaguminya. Setiap tingkah lakunya benar-benar membuatku kagum. Jarang sekali ada anak remaja seperti Kinal. Baik, sopan, sayang banget sama kedua orangtuanya. Dan juga ... perhatian sekali padaku. Entah kenapa, setiap kali aku memutar perhatian yang Kinal berikan padaku selama ini. Tanpa kuketahui penyebabnya selalu membuat pipiku menghangat.

Ah, berpikir apa aku ini. Bukankah Kinal selalu bilang, semua yang ia lalukan semata-mata hanya untuk menggantikan tugas Kinan. Sudah jadi tugas wajibnya menjagaku dan juga janin yang tengah berkembang di dalam rahimku. Dan itu membuat rasa bersalahku semakin membumbung tinggi. Dan ada sedikit rasa tidak rela terselip dalam hati  setiap kali mendengar ucapannya itu. Entahlah....

Tak ingin terus terjebak dengan pikiranku sendiri, kugelengkan kepala berusaha mengeyahkan semuanya. Karena bagaimanapun, sekarang, karena Kinal-lah yang selalu berada di sampingku bukan Kinan.

Aku mengangkat kepala sekadar melihat tampilan wajahku pada dinding cermin yang ada di hadapanku. Ternyata, sedikit banyak, Kinal sudah berhasil menyita hampir seluruh pikiranku. Aku mengembuskan napas pelan. Tanpa diminta dan permisi lagi, semua tentang Kinal menyembul begitu saja dari kepalaku dan itu benar-benar membuatku sedikit bingung.

"Lho, Bu Veranda kenapa bengong?"

Suara sapaan Bu Yona langsung memecah lamunanku. Aku jadi sedikit gelagapan.

"Eh? Enggak kok, Bu," elakku kembali memutar air keran berpura-pura mencuci tangan.

Kulirik Bu Yona yang sedang membetulkan riasan wajahnya.

"Oh, iya. Ngomong-ngomong kandungan Bu Veranda sudah berapa bulan?"

Aku langsung menoleh begitu mendengar pentanyaan itu terlontar dari bibir Bu Yona. Suplaian oksigenku seolah terputus. Bagaimana Bu Yona tahu?—batinku terus menanyakan itu. Kusipitkan mataku, menatap Bu Yona yang kini sibuk memoleskan lipstik merah lembut pada bibirnya.

Bu Yona menoleh ke arahku, tersenyum lebar. "Lho, kenapa ekspresinya seperti itu, Bu? Bukankah hal yang wajar jika seorang sudah menikah terus hamil?" Wajah Bu Yona terlihat sedang menggodaku.

Aku hanya bisa memamerkan senyuman kecil. "I-iya, Bu. Cuma, Bu Yona tahu dari mana kalau saya sedang hamil?" Karena, selama di sekolah ini yang tahu tentang kehamilanku hanyalah Kinal.

Bu Yona terkekeh geli, melirikku dengan pandangan anehnya. "Bu Veranda ini aneh, ya. Masa kami tidak menyadari kalau Bu Veranda sedang hamil. Karena akhir-akhir ini, Bu Veranda sering banget menunjukkan gejala orang hamil. Bu Veranda lupa, kalau saya guru Biologi, ya?"

Ah, iya ... aku lupa satu fakta itu. Lantas, apa hubungan dan pengaruhnya? Aku masih terus menatap Bu Yona dengan lekat seolah minta penjelasan lebih jauh lagi.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang