Kalo bisa apdet cepet, kenapa harus nunggu 200 vote. Tapi, awas aja kalo komennya masih sedikit. Karena saya lebih suka komen daripada vote karena bisa berinteraksi dengan para pembaca cerita ini bisa bikin saya lebih semangat lagi. Sepertinya, saya lagi ketularan si jabang bayi Mbak Badai. Jadi, banyak minta. *plak ^^
Selamat membaca!
________________________________
Kinal mengecek penampilannya sejenak. Kaus hitam berkerah yang dikancing hingga atas. Celana jeans biru menjadi pilihan tampilannya hari ini. Rencananya, hari ini, Kinal akan mengantar Veranda untuk berkunjung ke dokter kandungan. Memeriksa bagaimana perkembangan janinnya. Tentu saja atas permintaan Veranda. Kinal terpaku, menatap tampilan dirinya. Tanpa sadar, tangannya terangkat, meremas dada kiri. Degup jantungnya berdetak diambang batas normal. Entah kenapa ia merasa sangat gugup. Padahal hanya mengantar Veranda periksa. Namun, rasanya ... seperti tengah menghadapi ujian besar.
Suara dering telepon menyentak tubuh Kinal. Dengan langkah sigap, Kinal menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar. Tulisan 'Papa' yang tertera pada layar sentuh ponsel mengembangkan senyuman Kinal. Ia benar-benar senang, karena akhirnya Haris meneleponnya. Kinal benar-benar merindukan keberadaan Haris di rumah.
"Iya halo, Pa!" Kinal mendekati ranjang, duduk di tepinya sambil mendengarkan sapaan hangat Haris di seberang sana.
"............................"
"Hari ini, Kinal mau mengantar Kak Ve ke dokter kandungan. Kinal baik. Papa apa kabar? Kapan Papa pulang?"
Rentetan kalimat penjelas meluncur dari bibir Haris. Kinal mendengarkan lamat-lamat ucapan Haris sambil sekali-kali mengangguk mantap.
"Baik, Pa. Kinal mengerti. Papa jaga kesehatan, ya. Jangan terlalu dipaksa kerjanya." Raut wajah Kinal berubah sendu.
"Iya, Pa. Kinal janji."
Suara sambungan telepon yang diputus Haris membuat air muka Kinal semakin sedih.
"Kinal pasti akan tepati janji Kinal, Pa. Papa enggak perlu khawatir," gumam Kinal meletakkan ponselnya di ranjang. Menoleh ke arah jendela kamar, tatapannya tampak penuh beban.
Tok!
Tok!
Suara ketukan pintu merenggut lamunan Kinal. Menarik napas panjang, Kinal menghampiri pintu. Membukanya sedikit. Wajah Veranda yang cerah langsung menyambut manik legam Kinal yang bersembunyi di balik lensa kacamata.
Kinal membuka lebar daun pintu itu.
"Kamu sudah siap?"
Kinal mengangguk. "Sudah Kak. Mau berangkat sekarang?"
Veranda yang menyadari ada sesuatu yang salah dengan ekspresi Kinal memberanikan diri untuk bertanya, "Kamu kenapa?"
Susah payah Kinal mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Saya enggak apa-apa, Kak."
"Yakin? Kamu enggak apa-apa? Kalau kamu enggak enak badan. Saya bisa pergi sendirian aja," tutur Veranda meneliti air muka Kinal yang menurutnya terlihat sedih.
Kinal langsung menggeleng. "Beneran, saya enggak apa-apa."
"Ya sudah, kalau begitu, saya tunggu di bawah. Oh iya, ini berkas yang Bu Melody titip ke saya. Saya lupa ngembaliin ini." Veranda mengulurkan berkas.
Kinal menatap lekat map cokelat tua. Itu adalah bagian dari kepingan impiannya yang dengan sangat terpaksa ia pupus. Ragu-ragu, Kinal mengambil map itu. Ujung jarinya bertemu dengan ujung jari Veranda. Cepat-cepat Kinal mengambilnya karena tiba-tiba saja ada sesuatu yang merambat pelan di rongga dadanya dan itu membuatnya sangat tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Lover [END]
Fanfiction[17+] Ini hanyalah kisah tentang hubungan dua insan dengan segala kerumitan di dalamnya. Attention! Jangan buka cerita ini! Jika tidak ingin kecewa.... Happy Reading!