Suara dering ponsel langsung menyibak tirai mimpi saya. Perlahan, saya beranjak duduk. Bersandar sejenak di bahu ranjang guna mengusir rasa kantuk yang masih bergelayut di pelupuk mata. Saya melirik jam meja, baru pukul setengah enam pagi. Menyibak selimut dan melangkah sedikit terseok ke sumber suara yang terus berdering sejak beberapa menit lalu, mungkin.
Tampilan nama 'Mama' di layar ponsel langsung melenyapkan rasa kantuk saya dalam hitungan detik.
"Halo, Ma!"
"Kamu sudah bangun?"
"Sudah, sejak ada telepon dari Mama." Suara Mama benar-benar saya rindukan. Semua yang ada pada Mama begitu membuat saya ditenggelamkan ke dasar palung kerinduan. "Mama apa kabar?"
"Kabar mama baik-baik aja. Kamu juga, 'kan."
"Iya, Kinal baik, Ma." Saya melangkah mendekati jendela, menyibak tirai lalu membuka jendela membiarkan udara pagi menelusup masuk.
"Sayang, selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu diberkahi kebahagiaan yang melimpah. Selalu sehat dan ...,"
Saya masih terus menunggu Mama meneruskan kalimatnya. Entah kenapa, perasaan saya menjadi sedikit cemas.
"Ma."
"Ah iya, maaf. Tadi ada sedikit gangguan. Mama berharap, kamu selalu bahagia."
Entah kenapa, suara Mama terdengar tidak baik-baik saja.
"Terima kasih, Ma. Semua doa dari Mama sangat berarti buat Kinal."
"Oh iya, kamu mau hadiah apa di ulang tahun kamu ke-18 ini," ujar Mama terdengar sangat antusias. Setiap tahun, Mama pasti lebih memilih menanyakan perihal hadiah apa yang saya mau daripada memberi saya kejutan. Dan itu benar-benar membuat saya sangat beruntung bisa dicintai oleh Mama sebesar itu.
Saya menoleh sejenak, menatap atap-atap rumah yang tampak basah karena tersapu embun pagi. "Ma, Kinal tidak ingin hadiah apa-apa. Kinal hanya ingin, Papa dan Mama selalu sehat. Bisa kembali ke rumah secepatnya." Tanpa terasa air mata saya meluncur begitu saja.
Cukup lama, keheningan saling membungkus saya dan Mama. Entah kenapa, ada perasaan yang sangat sukar saya urai menjadi untaian kata. Karena tidak ingin merasa sedikit terganggu dengan perasaan ini. Saya pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Mama.
"Ma. Boleh Kinal bertanya sesuatu?"
Mama cukup lama terdiam. Saya hanya bisa menunggu Mama membuka suara.
"Silakan, sayang. Kamu mau tanya apa? Hm?"
"Sebelumnya, Kinal minta maaf karena menanyakan hal ini berulang-ulang. Hanya saja, Kinal merasa keadaan Papa tidak baik-baik saja. Mama tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari Kinal, 'kan." Saya melirik cahaya jingga keemasan yang masih bersembunyi di antara kumpulan awan pekat.
"Kamu jangan terlalu banyak pikiran, ya. Mama, Papa, baik-baik aja di sini. Kamu fokus ke sekolah aja. Oh iya, bagaimana kabar istri kamu?"
Entah kenapa, kali ini, pertanyaan itu terdengar biasa saja di telinga saya. Meski ada sesuatu yang aneh pada rongga dada saya ketika mendengar pertanyaan itu.
"Kak Veranda baik-baik aja, Ma. Mual dan muntahnya juga udah agak jarangan," ujar saya mengirimkan informasi lewat kabel tak kasat mata.
Terdengar Mama menghela napas di seberang sana. "Syukurlah, Mama ikut senang mendengarnya. Kamu harus jaga Veranda baik-baik, ya, Kinal."
"Iya, Ma. Kinal mengerti."
"Oh iya, Ma. Bisa Kinal bicara dengan Papa? Kinal rindu sekali. Kinal ingin main catur lagi sama-sama Papa." Saya langsung menyeka air mata yang kembali bergulir tanpa izin. Entah kenapa, setiap saya mengingat Papa. Ada firasat tak enak yang saya rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Lover [END]
Fanfiction[17+] Ini hanyalah kisah tentang hubungan dua insan dengan segala kerumitan di dalamnya. Attention! Jangan buka cerita ini! Jika tidak ingin kecewa.... Happy Reading!