25. Firasat

2.7K 354 46
                                    

"Kopinya, Mas." Wulan meletakkan secangkir kopi hitam yang masih mengepul di atas meja.

Haris menghentikan pergerakan kursi malasnya. Menurunkan koran melirik kopi yang baru saja disajikan Wulan kemudian melipat korannya.

"Terima kasih." Ia meniup-niup sebentar sebelum menyesapnya perlahan.

Wulan menghela napas panjang, mengamati ke sekeliling. Tampak atap-atap rumah yang berkilau tersirami cahaya mentari pagi. Keduanya tengah bersantai di beranda salah satu kamar hotel sambil berjemur, menghangatkan tubuh.

Terdengar suara helaan napas panjang dari Wulan. Ia duduk sedikit tidak tenang memikirkan semua masalah yang tengah menerpa keluarganya.

"Mas, apa enggak sebaiknya kita beritahu masalah hotel ke Kinal? Dia selalu nanyain. Aku tuh enggak tega banget, Kinal begitu mencemaskan kamu dan hotel ini," ujar Wulan sambil meremas tangannya.

Haris tercenung, menatap mentari pagi yang berpendar cerah. Meratapi hidup putra bungsunya. "Saya hanya enggak ingin nambah beban pikiran anak itu. Masalah Kinan sudah banyak mengubah hidupnya. Ditambah lagi, kehamilan Veranda." Haris membuka kacamatanya sambil menarik napas lemah. "Belum lagi, sebentar lagi, dia akan menghadapi ujian kelulusan. Anak itu, terlalu banyak harus menanggung beban hidup akibat perbuatan Kinan. Saya hanya tidak ingin semakin menambah tekanan hidupnya." Haris berdiri mendekati pembatas balkon. Mengamati kawasan hotelnya yang ia rintis dari nol. Ia ingat betul ketika ia mulai merintis usaha penginapan, Kinal masih berusia sekitar lima tahun.

"Seenggaknya, sekarang ini saya merasa sedikit lega. Masalah hotel sudah selesai. Rasanya, berat sekali melepas hotel ini. Tapi, apa boleh buat. Para pekerja harus mendapat pesangon yang layak. Karena mereka sudah mengabdikan diri sejak saya memulai usaha penginapan ini dari nol. Mereka selalu setia dengan hotel ini." Haris melirik ke arah barat daya, di sana berdiri kokoh gedung baru berlantai tujuh. Itu adalah hotel yang baru saja resmi dibuka beberapa bulan lalu. Karena alasan itu pula, hotel yang dikelola Haris semakin sepi dari hari ke hari hingga berimbas harus dijual ke pihak pengelola lain.

Lagi, Haris menghela napas panjang. Hari ini, adalah untuk terakhir kalinya Haris berada di hotel yang ia bangun dengan air mata, keringat, dan kerja keras selama hampir belasan tahun. Rasanya, masih tidak rela untuk melepasnya. Namun, apa boleh buat. Jika ia memaksa terus menjalankan hotel tunggakan kredit pada bank akan semakin besar. Karena sangat kecil kemungkinan hotelnya bisa kembali berdenyut seperti waktu dulu. Sebelum hotel berbintang tujuh itu dibangun di dekat kawasan hotelnya.

"Lalu bagaimana dengan kuliah Kinal, Mas? Kinal sudah cerita ke saya, kalau dia tidak jadi ambil kuliah di luar kota. Sedangkan, tabungan pendidikannya sudah terpakai untuk menutup biaya pesangon pekerja," tutur Wulan menghampiri Haris.

"Yang tersisa hanya rumah warisan Bapak," sambung Wulan. "Saya sengaja tidak menjualnya, karena Bapak berpesan supaya tidak menjual rumah itu apa pun yang terjadi."

Haris menoleh berbalik menghadap Wulan. "Kamu jangan khawatir, saya akan usahakan semuanya. Saya tidak akan pernah membiarkan Kinal putus pendidikannya. Bila perlu saya akan kembali bekerja," ucap Haris sambil mengusap-usap bahu Wulan.

"Tapi, Mas ... kamu harus ingat umur dan kesehatan kamu juga. Kamu enggak bi—"

"Sudahlah, saya paham kekhawatiran kamu." Haris kembali mengusap lembut bahu Wulan. "Saya cuma mau pesan, apa pun yang terjadi ke depannya. Kamu harus jadi penguat Kinal." Ia melirik jam tangannya.

"Kalau begitu, saya mau ketemu Pak Bimo sekarang, masih ada beberapa dokumen yang harus saya urus. Dan jangan lupa, kabari Kinal kalau besok kita pulang." Haris tersenyum hangat.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang