50. Tidak Ingin Menyerah!

3.3K 386 42
                                    

"Kenapa?"

Terdiam, bukan menjawab pertanyaan yang Kinal layangkan. Veranda malah semakin memerhatikan wajah serius Kinal sambil menopang dagu. Merasa tidak mendapat jawaban akan pertanyaannya. Kinal kembali mengalihkan pandangannya pada buku yang tergeletak di atas meja belajar. Sepasang matanya sangat serius membaca tiap rangkaian kata yang tercetak di buku pelajaran Biologi.

Veranda duduk di sebelahnya. Menemani Kinal yang tengah mempersiapkan diri untuk ujian akhir. Ia membiarkan novelnya terbuka entah sejak kapan. Minatnya luntur seketika begitu melihat wajah Kinal yang terlihat sangat menggemaskan saat sedang membaca.

Kinal berdeham, berusaha mengikis rasa gugup yang perlahan merambat menyesaki rongga dadanya. Rasa gugup itu masih saja bersemayam di dadanya kala Veranda memberi tatapan seperti itu. Bola matanya bergerak ke samping, mencuri lihat ke arah Veranda yang masih terus memandanginya sambil menyangga dagu.

Kinal langsung menutup buku pelajarannya. Memiringkan badannya sedikit, kemudian ikut menopang dagu. Mensejajarkan pandangannya dengan tatapan lekat Veranda. "Kenapa?" ulang Kinal.

"Kamu menggemaskan," tutur Veranda begitu saja.

"Benarkah?" Kinal menarik kursi hingga menimbulkan suara decitan pada lantai. Mendekatkan kursinya pada kursi yang diduduki Ver. "Bagaimana kalau nanti saja menatapnya. Saya harus belajar buat ujian besok. Um ... Kak Ve mengganggu konsentrasi saya," tutur Kinal berterus terang.

"Oke, baiklah." Veranda langsung mengalihkan perhatiannya pada novelnya. Sudah dua hari Veranda mengambil cuti mengajar. Ia merajuk.

Kinal pun membuka kembali buku pelajarannya. Berusaha memusatkan kembali konsetrasinya pada materi pelajaran yang tercetak di sana. Suasana sunyi, menjalar pelan mengisi sudut-sudut kamar itu. Kinal menghela napas pelan saat atmosfer kamar ini mendadak mulai tidak menyenangkan. Ia melirik Veranda yang tengah membaca sambil menyangga kepala.

Perlahan, Kinal mengangkat tangannya. Menelusupkan jari-jemarinya di antara sela-sela jemari Veranda lalu menggenggamnya. Perhatian Veranda langsung tertuju pada Kinal, melirik genggaman tangan Kinal. Rekahan senyum langsung terulas di bibir Veranda.

"Jauh lebih baik?" ucap Kinal sambil mengamati rangkaian kalimat berbahasa Latin di buku pelajarannya.

"Iya." Veranda balas menggenggam jemari Kinal tidak kalah erat. Keduanya bungkam, sama-sama menikmati bacaan masing-masing dengan tangan saling menggenggam.

Setelah selesai, Kinal langsung melepaskankan genggaman tangannya. "Kak Ve mau makan sesuatu?" tawar Kinal.

Telunjuk Veranda mengetuk dagu lancipnya. Seolah tengah berpikir. "Enggak usah, deh. Mau langsung tidur aja."

Kinal menutup buku dan menyimpannya di dalam laci. "Kalau begitu, saya buatin susu, ya."

Anggukan Veranda berikan sebagai jawaban. Tanpa bicara lagi, Kinal beranjak berdiri. Merentangkan sepasang tangannya ke udara. Berusaha mengendurkan otot-ototnya yang terasa kaku dan melenggang keluar kamar. Tidak perlu waktu lama, Kinal pun kembali ke kamar dengan membawa segelas susu hangat untuk Veranda.

"Ini susunya." Kinal mengulurkan susu itu ke arah Veranda yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur.

Perlahan, Veranda meneguk susunya. Kinal memandangi wajah Veranda sambil memberikan usapan lembutnya pada perut Veranda. Ia tersenyum senang. Kala merasakan pergerakan dari dalam sana.

"Sudah?" Kinal meraih gelas susu yang sudah kosong.

Veranda mengangguk.

Kinal tersenyum melihat sudut bibir Veranda yang celemotan dengan sisa susu. Ujung ibu jarinya langsung menyeka sisa susu sambil tersenyum. Membuat Veranda terkesiap beberapa detik.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang