21. Cemas dan Perasaan Bersalah

2.8K 416 35
                                    

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****

Selamat pagi!

Sapaku begitu tiba di dalam ruang guru. Beberapa guru yang sudah hadir langsung balik menyapa hangat padaku. Hanya saja, aku merasa sedikit aneh. Ada yang beda dengan tatapan mereka. Terutama Bu Frieska dan Pak Herman. Tidak mau ambil pusing, aku langsung menarik kursi. Mulai membuka buku Sejarah, mempersiapkan materi hari ini.

"Selamat pagi, Bu veranda!" Suara bariton Pak Herman langsung membuatku mengangkat kepala.

"Selamat pagi, Pak," balasku masih berusaha menjaga hubungan baik sebagai rekan kerja di sekolah ini.

Aku pun berusaha tak acuh kembali. Membuat catatan kecil untuk materi nanti. Suara decit kursi yang ditarik sedikit membuat konsetrasiku mengabur.

Suara dehaman Pak Herman terdengar sedikit menyebalkan bagiku.

"Ngomong-ngomong, kalau diperhatikan, sepertinya suami Bu Veranda belum pernah kelihatan jemput Bu Veranda, ya? Um ... maksud saya, sangat berbeda dengan kebanyakan guru yang sudah menikah di sekolah ini. Yang ji—"

Merasa tidak tahan dengan racauan Pak Herman di pagi ini. Yang hanya akan merusak mood-ku. Aku pun langsung menghentikan aktivitas menulisku.

"Maksud Pak Herman apa?"

"Ya, maksud saya, saya belum pernah lihat suami Bu Veranda jemput Bu Veranda ke sekolah. Beda aja sama guru-guru lain yang sudah bersuami." Ekspresi Pak Herman ketika mengatakan itu benar-benar membuat lonjakan emosiku meningkat drastis.

Kukepal pena kuat-kuat, berusaha meredam sesuatu yang tengah mendidih di otakku.

Tenang, Veranda!

Tenang!

Tarik napas, embuskan pelan—Aku bergumam berkali-kali dalam hati. Masih berusaha mengontrol emosiku.

"Iya, terus ... masalah buat Pak Herman?" ketusku. Sumpah demi apa pun, di sepanjang karirku mengajar, aku baru menemui makhluk pria menyebalkan seperti Pak Herman. Tingkahnya benar-benar berbanding terbalik dengan tampangnya.

Pak Herman terlihat menyimpulkan senyum. "Ya, memang bukan masalah saya, sih. Saya hanya sedikit kasihan saja sama Bu Veranda. Harus pulang-pergi mengajar naik kendaraan umum," ujar Pak Herman masih dengan tampang menyebalkan.

Sial!

Sepertinya kadar hormon serotorinku tengah rendah, itu membuat lonjakan emosiku sedikit tidak terkontrol setelah mendengar rentetan kalimat itu dari mulut beracun Pak Herma. Untung saja, Pak Herman mengatakan hal itu di ruangan guru, jika tidak, entah apa yang sudah kulakukan pada mulut usilnya.

Aku berdeham berkali-kali, masih terus berusaha menjaga lompatan emosiku. "Maaf ya, Pak Herman. Sepertinya, Pak Herman tidak bijak mengatakan ini-itu tentang kehidupan pribadi saya. Sebaiknya, Pak Herman gunakan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat. Misalnya, buatin secangkir teh hangat buat Bu Frieska akan jauh lebih baik untuk kelanggengan hubungan Anda berdua dibandingkan membuang waktu dengan memberi komentar tentang kehidupan pribadi saya," jelasku panjang lebar dengan nada suara kubuat setenang mungkin. Merasa tidak ingin terusik lagi, aku pun beranjak berdiri hendak pergi ke kamar mandi. Mungkin, dengan membasuh wajah akan bisa mengurangi hawa panas yang tengah melingkupiku.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang