16. Ambruk

3.5K 339 35
                                    

Halo!

Maaf untuk ketidaknyamanannya. Tadi sempet saya unpub. Karena ada bagian yg terlewat. Kalo yg udah baca postingan awal bakal ngeh bagian mana yg saya tambahkan.

Happy Reading!

*****

Kinal meremas kuat celana jeans-nya. Berusaha meredam sesuatu yang membuat rongga dadanya tidak nyaman. Pandangannya sekali-kali teralihkan ke arah luar, sekadar menikmati sejenak mobil-mobil yang meluncur cepat berlawanan arah. Kinal terus berusaha menahan pergerakan tubuhnya. Karena menurutnya, bergerak sedikit saja bisa membangunkan Veranda yang tengah tertidur pulas menyadarkan kepala pada bahunya.

Meski terasa sedikit pegal, Kinal terus berusaha membuat senyaman mungkin posisi tidur Veranda. Mobil sewaan yang mereka tumpangi membelah jalan raya dengan kecepatan sedang menuju bandara. Kinal menaikkan kacamatanya yang melorot. Melirik sekilas wajat tertidur pulas. Sepertinya lelah sekali—Kinal bergumam dalam hati. Tanpa ia sadari, senyum samar terulas di bibirnya. Menatap wajah damai Veranda yang tengah tertidur bersandar pada bahunya. Ada kehangatan yang ia rasakan pada rongga dadanya. Lagi, Kinal tersenyum samar. melihat Veranda yang tertidur begitu kelelahan. 

Kinal tidak menemukan alasan yang jelas kenapa ia tersenyum. Ia terlalu tidak peka untuk urusan hati. Karena selama ini, yang ada di pikirannya. Sekolah-belajar-sekolah-dan belajar. Tidak terbesit sedikit pun sekadar mencari pengalaman dalam urusan percintaan. Walau sebatas cinta monyet pun Kinal tidak tahu tentang itu.

Mobil itu terhenti tepat di bandara. Supir melirik ke bangku belakang.

"Kakaknya, tidurnya pulas sekali, Mas?" tanya supir tersebut sambil menyimpulkan senyum halusnya. Melirik dari kaca spion tengah

Eh?

Kakak?

Kinal berdeham pelan. "I-Iya, Pak." Kinal menggeliat kecil, menegakkan sedikit punggungnya. Ia melirik jam tangan digital hitamnya. Takut-takut, jika pesawat tujuan Manado sudah mendarat.

Masih ada waktu tigapuluh menit lagi. "Tunggu sebentar lagi ya, Pak."

Supir itu mengangguk. "Santai ajalah, Mas. Enggak usah buru-buru. Kasihan Kakaknya tuh. Kayaknya capek banget," ujar supir itu lalu menyambar botol air mineralnya.

Lagi, Kinal meremas celana jeans-nya. Menghela napas pelan. Beberapa menit kemudian, ada pergerakan kecil dari Veranda. Suara desahan khas orang bangun tidur samar terdengar. Kinal menoleh, ia tampak menahan napas begitu Veranda menaikkan kepalanya. Tatapan keduanya saling menyapa dalam hitungan detik.

"Sudah sampai bandara, ya?" ujar Veranda dengan suara sengau. Merapikan sedikit rambutnya yang  berantakan sambil sekali-kali melirik ke arah Kinal. Kinal bergeming. Ia menegakkan punggungnya. Sekadar merenggangkan otot-otot bahunya yang kaku dan pegal, diam-diam.

"Sudah dari lima belas menit lalu, Mbak. Kasihan adiknya tuh, Mbak. Pasti pegel banget tuh nungguin si Mbaknya bangun," celetuk sang supir.

Susah payah Kinal menelah air liurnya yang tersangkut di kerongkongan mendengar kalimat yang meluncur tanpa permisi dari sang supir.

"Benar begitu?" tanya Veranda.

Ragu-ragu, Kinal hanya mengangguk. Mengiyakan.

"Kenapa kamu enggak bangunin saya," sambung Veranda merasa bersalah.

Baru saja Kinal mau menggerakkan bibirnya. Hendak memberi alasan.

"Yah, si Masnya enggak tegalah, Mbak. Wong si Mbaknya kelihatan capek banget," celutuk kembali sang supir sambil asyik membaca koran pagi.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang