4. Sepupuku yang Menyebalkan

4.2K 334 11
                                    

"Kak Ve, kalau diperhatikan ... Kinal itu sangat menggemaskan, ya. Dia imut banget. Pendiem lagi. Gre suka banget tipe cowok kayak gitu. Tapi, sayang banget ... dia dah jadi suaminya Kak Ve."

Aku hanya menghela napas malas, saat kata-kata itu terdengar membisiki telingaku. Sepasang mata Gracia tampak begitu berbinar-binar memperhatikan Kinal yang tengah berbincang santai dengan Papa di luar sana. Hari ini, kami berencana mengajak Kinal sekadar berkeliling kota Manado. Maklum saja, sejak acara akad nikah, Kinal hanya berdiam diri di rumah.

Terang saja, meski tidak bicara sedikit pun ia pasti sangat bosan. Karenanya, sebelum besok bertolak ke Jakarta. Aku, Papa, dan juga Gracia hendak mengajaknya jalan-jalan, melihat beberapa tempat terindah di kota ini. Menurut yang kudengar dari Kinan, Kinal sangat menyukai fotografi. Jadi, kami putuskan akan mengajak Kinal berwisata ke Gunung Tempu. Di sana adalah salah satu surganya bagi para pecinta fotografi yang hendak berburu foto pemandangan alam yang begitu memanjakan mata.Perpohonan rindang yang masih sangat asri, perkebunan kelapa, dan juga udaranya yang masih terbilang sejuk dan segar masih bisa kita rasakan saat tengah berada di sana. Dan yang paling mengesankan dari itu semua—bagi para wisatawan pecinta fotografi—bisa mendapatkan potret pemandangan matahari tenggelam.

"Pssh, Kak Ve! Lihat deh!" Gracia masih saja terus menggangguku. Aku hanya mencoba tidak meresponnya. Sejak tadi, Gracia selalu menggangguku dengan perkataan-perkataan yang membuatku tak nyaman.

Kucoba memejamkan mataku, meyandarkan kepalaku yang masih terasa sedikit pusing pada jok mobil.

"Ish, Kak Ve kok diem aja sih," ujar Gracia sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.

Shania Gracia adalah sepupu terbawelku, ia anak dari adik Papa. Merasa tidak ingin diganggu lagi olehnya, dengan sedikit malas aku pun membuka mataku perlahan. "Kenapa sih, Gre?" Kutegakkan punggungku. Menoleh ke arah Gracia yang tengah tersenyum riang.

"Itu lihat deh! Senyumnya Kinal itu manis juga, ya." Telunjuknya mengarah ke arah Kinal yang tengah membantu Papa membawa beberapa barang keperluan wisata kami sambil diselingi senyuman.

Bayangan Kinan langsung bergelayut kuat di pikiranku.

Senyum itu, senyum yang dulu selalu menghiasi hari-hariku sebelum semuanya terjadi seperti sekarang ini seolah membuatku semakin merutuki takdir yang telah Tuhan pilihkan untukku. Setiap kali melihat senyum Kinal, isi kepalaku selalu memutar kembali bayang-bayang Kinan. Karena bagaimanapun juga, Kinan masih terpatri kuat di dalam hati dan pikiranku.

"Hmm."

Aku kembali menyandarkan kepalaku, mencoba memejamkan mataku kembali. Berusaha tidak memedulikan Gracia yang masih saja mengusik ketenanganku. Lumayan, aku bisa istirahat satu jam selama menempuh perjalan ke Gunung Tumpa. Letak rumahku yang berada di pusat kota, membuat jarak tempuh perjalanan tidak terlalu melelahkan.

"Ish, Kak Ve enggak asyik nih." Suara gerutuan Gracia masih terus berdengung di telingaku. Ah, aku tidak peduli sama sekali. Aku hanya ingin mengistirahatkan tubuh dan pikiranku yang sangat melelahkan akhir-akhir ini.

Kurasakan, mobil melaju pelan. Detik berikutnya, aku menyambut mimpiku.

*****

Aku menggeliat kecil, sekadar merenggangkan otot-otot yang terasa kaku. Entah kenapa, selama perjalanan tadi aku merasa nyaman sekali. Bersandar di bahu Gracia tidak buruk juga. Terkadang anak itu memang paling pengertian. Kuangkat kepalaku, kugerakkan ke kiri ke kanan sekadar mengusir rasa pegal di sana. Aku menguap kecil, membuang rasa kantuk yang tersisa.

"Hmm, makasih ya, Gre. Kamu uda—"

Suplaian oksigen seolah terhenti detik itu juga, membuatku kesulitan bernapas, mataku hampir melompat dari kelopaknya, melihat Kinal yang tengah tersenyum canggung di sampingku. Entah sejak kapan, aku pun tidak menyadarinya. Yang kutahu, Kinal akan duduk di bangku depan bersama Papa. Lalu, kenapa ia ada di sini, di sampingku.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang