40. Pengakuan (2)

2.9K 404 71
                                    

"Apa? Jadi, kamu lebih milih buat nganterin wanita itu daripada nganter istri kamu periksa. Gitu?" 

"Lalu bagaimana maksud kamu? Sudah jelas-jelas kamu lebih pilih dia ketimbang ngantersaya. Lagian, kenapa kamu enggak langsung suruh dia pulang dan bilang, kamu mauanter istri kamu periksa kandungan. Simple,'kan? Kelar masalahnya!"     

Kata-katanya tadi masih terus memenuhi isi kepala saya. Entah kenapa, mobil yang Kak Sinka kendarai seolah terasa berjalan melambat. Saya masih mengamati mobil-mobil yang lalu lalang di seberang sana. Pikiran saya masih tertuju pada Kak Ve. Sekarang ini, saya merasa seperti seorang suami yang sangat tidak bertanggung jawab karena lebih memilih untuk pergi bersama perempuan lain. Tapi, saya harus melakukan ini secepatnya. Saya tidak bisa membiarkan Kak Sinka terus-terusan berharap atas apa yang sudah tidak bisa lagi diharapkan.

Bukannya saya terlalu percaya diri atas segala perhatian yang selama ini Kak Sinka berikan kepada saya, karena Jinan pun pernah bercerita langsung tentang Kak Sinka. Dan menurut cerita Jinan, Kak Sinka memang mengakui jika menyukai saya. Saya hanya tidak ingin meninggikan harapan dan angannya akan saya. Karena bagaimanapun, status saya adalah seorang suami dari Kak Ve. Dan saya hanya ingin menghargai dan menjaga perasaan wanita yang perlahan sudah menyita seluruh pikiran saya. Saya hanya tidak ingin menyakiti hatinya entah karena perasaan cemburu atau bahkan berburuk sangka terhadap saya.

Sedang apa sekarang ini Kak Ve di rumah sakit?

Awalnya, saya ingin sekali mengantar Kak Ve untuk memeriksakan kandungannya. Saya sangat ingin melihat bagaimana perkembangan bayinya. Entah kenapa, janin itu seolah menjadi penghubung saya dengan Kak Ve. Walau bukan darah daging saya sendiri. Saya seakan-akan merasa begitu dekat dengannya. Apa ini perasaan yang dirasakan oleh siapa pun yang akan menjadi seorang ayah? Entahlah, saya tidak terlalu mengerti itu. Namun yang pasti, saya sangat bahagia menantikan kehadirannya ke dunia ini. Meski dalam hati kecil, saya merasa takut, bahkan teramat takut, tidak bisa memberikan masa depan yang layak untuknya dan juga Kak Ve.

Yang Mama Diana bilang memang benar, saya hanya anak ingusan dengan masa depan yang tidak jelas. Tapi, saya akan berusaha keras untuk membahagiakan keduanya. Itu sudah menjadi tekad saya.

"Kamu kenapa? Kok, dari tadi bengong aja?"

Suara Kak Sinka langsung mengetuk lamunan saya. "Enggak apa-apa kok, Kak. Lho, kenapa ke sini?" Saya sedikit heran melihat Kak Sinka berhenti di parkiran taman kota.

"Katanya mau ngomong sesuatu. Saya pikir, ini tempat yang paling nyaman buat kita mengobrol. Yuk, turun!"

Saya melepas seatbelt dan keluar dari mobil Kak Sinka. Rasa tegang seketika menyergap cepat. Dengan langkah sedikit gugup, saya mengikuti langkah Kak Sinka. Kak Sinka terlihat sangat bahagia. Saya bisa melihat itu dari pancaran matanya. Saya jadi sedikit takut, kalau-kalau pengakuan yang akan saya bagi menyurutkan kebahagiaannya.

"Yuk, duduk! Biar lebih enak. Emangnya, kamu mau ngomong apa, sih. Harus cari tempat nyaman segala. Padahal, bisa di rumah kamu. Saya suka rumah kamu, rasanya nyaman banget." Kak Sinka tersenyum selagi mengaitkan helaian rambut panjangnya yang ditiup angin siang. Matahari mulai merangkak naik, teriknya pun sudah bisa membuat keringat saya meluncur dari pelipis. Beruntung, udara taman kota terasa sejuk dengan beberapa pohon rindang tumbuh di sekitaran taman ini.

"Ada hal penting yang saya mau bilang. Dan rasanya, kurang nyaman aja kalau harus bicara di rumah saya," balas saya melirik wajah tersenyum Kak Sinka.

"Oh iya, sudah berapa lama kamu tinggal sama Tante kamu. Ve ... Veranda, ya. Kalau enggak salah inget namanya."

Perkataan Kak Sinka tadi benar-benar membuat saya semakin gugup. Saya meremas jemari saya, berusaha mengeyahkan perasaan tegang yang pelan-pelan merambat mengisi rongga dada saya. Saya takut, ini akan begitu mengejutkan Kak Sinka.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang