31. Ya Tuhan!

2.9K 386 62
                                    

Kami masih saling membisu, perkataan Dokter Saras tadi benar-benar membuat pikiranku sedikit kusut. Ada perasaan malu bercampur tidak enak yang melingkupi rongga dadaku. Seakan-akan aku tidak punya muka berhadapan dengan Kinal. Entahlah, rasanya benar-benar memalukan. Suasana hening masih terus menyelimuti kami, berjalan di sepanjang koridor rumah sakit.

Kulirik Kinal yang berjalan santai di sisi kananku. Sejak keluar dari ruang praktek Dokter Saras, ia masih bungkam seribu bahasa. Entah apa yang ada di pikirannya dan entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang ini. Beberapa bulan hidup satu atap bersamanya belum mampu membuatku sepenuhnya yakin. Yakin dengan perasaanku sendiri. Yakin dengan debaran aneh yang selalu kurasakan saat sentuhan Kinal menyapa lembut permukaan kulitku. Rasanya, terlalu cepat bagiku untuk melupakan Kinan begitu saja. Arrgh! Jika aku memikirkan hal itu, cukup membuatku semakin frustrasi dan tentu saja akan berdampak pada bayi yang tengah kukandung. Karenanya, aku lebih memilih berpura-pura tak acuh dengan perasaanku sendiri.

"Kak Ve mau langsung pulang? Atau mau mampir ke mana dulu?"

Pertanyaan Kinal langsung menghentikan langkahku. Aku mengerjap kala Kinal memandangiku dengan tatapan bingungnya.

"Kak Ve!"

Aku langsung berlonjak begitu Kinal menyentuh bahuku. Tuh kan, desiran aneh langsung menggelitiki perutku. Itu benar-benar membuatku tidak nyaman.

"Mau langsung pulang? Atau mau ke mana dulu?" ulang Kinal membuatku benar-benar seperti orang linglung. Ada apa dengan isi kepalaku. Kenapa sulit sekali untuk diajak kompromi. Kamu benar-benar payah, Veranda! Apa efek ucapan Dokter Saras tadi sedikit banyak telah memudarkan kesadaran dan kecerdasanku. Tidak mungkin! Ini benar-benar gila!

"Kita ke taman kota dulu, ya. Saya pengin jalan-jalan sebentar. Enggak apa-apa, 'kan," ucapku masih terus berusaha menghirup udara secara berkala. Suplaian oksigen di sekitarku seolah langsung menipis. Karena jarak wajah Kinal kali ini terlampau dekat. Aku bisa mencium aroma segar yang menguar dari embusan napasnya.

"Kenapa?" tanyaku berusaha mengalihkan perhatiannya.

Bukannya menjawab Kinal justru mendekatkan wajahnya, lebih dekat lagi. Aroma napas segarnya yang menguar semakin membuatku benar-benar tidak tahan lagi.

Kinal tersenyum lebar, tangannya terulur mengusap bagian pinggir kelopak mataku.

"Ada bulu mata," ujar Kinal kemudian memperlihatkan satu helai bulu mata yang ada di ujung telunjuknya.

"Kak Ve pasti kangen sama Kak Kinan, ya. Sampai-sampai bulu matanya rontok begini," tutur Kinal mengusap bagian satunya lagi.

Astaga!

Apa yang sedang dilakukan bocah ini?!

Dan ucapannya tadi, tiba-tiba ada perasaan yang sangat sulit kuungkapkan ke dalam ungkapan apa pun. Antara senang, sedih, tidak rela, dan berbagai perasaan lainnya. Bercampur aduk.

Aku hanya bisa tertawa canggung. "Haha, iya, mungkin. Dan kamu tahu teori itu dari mana?"

Kinal langsung membisu, alisnya tertaut kuat. Wajahnya tampak serius memikirkan pertanyaanku tadi.

Sudahlah!

"Yuk, nanti kesorean." Aku melenggang begitu saja meninggalkan Kinal di belakangku. Karena tidak ingin terus terjebak pada situasi yang benar-benar membuatku tidak nyaman. Kudengar suara entakan sepatu kets-nya yang beradu pada lantai, samar. Tidak perlu bersusah payah, Kinal sudah bisa menyamakan langkahnya dengan langkahku. Kami pun kembali berjalan bersisian dalam hening di sepanjang koridor rumah sakit.

Veranda!

Suara panggilan melengking langsung memaku langkahku dan Kinal. Aku menoleh ke arah sumber suara terlihat Gerard tengah berlari kecil mendekatiku. Kulirik Kinal yang hanya berdiri mematung. Mengernyit dalam.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang