37. Tidak Ingin Jadi Rahasia Lagi

2.5K 369 33
                                    

"Sore, Bu! Kinalnya ada?" tanya salah satu dari mereka.

Jinan?

Boby?

Kerongkonganku mendadak kering, mendapat kunjungan tak terduga dari Jinan dan Boby. Ya Tuhan! Apa yang harus aku katakan tentang keberadaanku di rumah ini. Isi kepalaku mendadak kosong. Aku masih tidak menduga, jika Jinan dan Boby akan datang ke sini. Bodoh! Tentu saja mereka berdua akan menemui Kinal yang sedang diskors satu minggu ini.

"Maaf, Bu. Kalau kami berdua mengganggu. Kinalnya ada? Saya ingin ketemu," imbuh Boby padaku. Entah kenapa, mereka berdua terlihat biasa saja. Tidak begitu terkejut dengan keberadaanku di rumah ini. Syukurlah jika seperti itu, aku merasa sedikit tenang.

"Ah iya, maafin saya. Masuk dulu, yuk," ucapku mempersilakan mereka masuk. Mendadak atmosfir ruangan tengah membuatku tidak nyaman. "Duduk dulu. Nanti saya panggilkan Kinalnya," tuturku begitu saja. Entahlah, aku merasa, mungkin sudah waktunya aku membuka semuanya. Bukankah Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk menunjukkan sesuatu.

Jinan dan Boby terlihat tersenyum canggung. Aku pun berusaha terlihat biasa saja di depan mereka.

"Duduk dulu. Ibu tinggal sebentar, ya."

"Iya, bu," sahut mereka padu.

Aku menyambar gelas bekas susu dan novel yang teronggok di atas meja. Aku menjadi gugup begitu menyadari pergerakan arah kedua pasang manik Jinan dan Boby--yang melirik gelas dan novel yang kuambil.

Aku menaruh gelas di dapur sebelum melangkah ke kamar, memanggil Kinal.

"Ada tamu, ya. Siapa?" tanya Mama Wulan saat berpapasan denganku di depan kamarnya.

"Ada Boby sama Jinan, Ma. Mereka mau ketemu Kinal," ujarku sedikit gugup. Entahlah, sekarang ini, ekspresi wajahku terlihat seperti apa, yang jelas aku merasa sedikit takut bercampur khawatir jika status kami akan terbongkar.

Mama Wulan mendekatiku, mengusap bahuku, lembut. "Kamu pasti takut dan khawatir, 'kan. Kalau-kalau hubungan kamu dengan Kinal terungkap atau diketahui mereka."

"Entahlah, Ma. Veranda ngerasa, kalau status kami diketahui orang lain hanya akan membuat masa depan Kinal semakin hancur," jawabku berterus terang. Aku masih dihantui ketakutan dan perasaan bersalah kalau-kalau hubungan ini terungkap ke permukaan. Aku hanya takut tentang pandangan buruk mereka terhadap kami berdua. Terutama Kinal.

Senyum kecil menghiasi bibir Mama Wulan, tangannya masih terus mengusap bahuku. Aku tahu, itu salah satu caranya sekadar berusaha menenangkanku. "Ve, mama tahu apa yang kamu takutkan. Tapi, jangan jadikan itu sebagai beban untuk kamu. Cepat atau lambat hubungan kalian berdua pasti akan terungkap. Enggak bisa selamanya kamu nyembunyiin ini, 'kan. Kamu enggak perlu ngerasa takut atau khawatir tentang pandangan buruk mereka atau siapa pun ke kalian berdua,"

"Karena mereka enggak tahu apa yang sebenernya terjadi, mereka enggak tahu apa yang kalian rasakan. Sudah, ya. Biar mama temui Jinan dan Boby. Bagaimana pun juga, mereka berdua sahabat Kinal. Mereka pasti cemas sekali sama keadaan Kinal setelah kejadian itu. Sebaiknya, kamu panggilin Kinal, gih." Mama pun berlalu menuju ruang tengah. Kudengar sayup-sayup suara obrolan ringan mereka.

Aku memaku langkahku sejenak di ambang pintu, kuintip Kinal tengah serius mengerjakan sesuatu terduduk di depan meja belajar. Ah tidak, kurasa, ia terlihat sibuk menuliskan sesuatu. Mengerjakan tugaskah? Tidak mungkin! Setelahnya, aku langsung mengetuk pintu. Dan melangkah masuk.

"Kinal!"

Ia terlihat buru-buru menutup buku jurnalnya lalu menoleh sambil menyahut. "Iya, Kak."

Ah, akhirnya .... Ia mau buka suara juga. Itu cukup membuatku lega. Aku mendekatinya yang masih terduduk di kursi. Aku melirik sekilas jurnal yang masih teronggok di atas meja belajar. Seolah sadar dengan pergerakan mataku, Kinal langsung menyambar jurnalnya dan memasukkannya ke dalam laci meja.

"Ada Jinan sama Boby. Mereka ingin ketemu kamu," ucapku.

Wajah Kinal langsung tegang, tangan kanannya langsung menyambar kacamata yang tersimpan di atas meja. Cukup lama kami saling beradu tatap. Setelahnya, ia terlihat biasa saja. Melihat ekspresi Kinal yang terlihat tenang, membuatku sedikit lega.

"Kalau begitu, saya mau temui mereka dulu." Kinal pun beranjak berdiri dan berlalu begitu saja.

Aku menghela napas beberapa kali kemudian duduk di tepi ranjang. Aku mengamati cincin dan gelang yang pernah Kinal pakaikan. Waktu teramat cepat berlalu, tanpa sadar, hatiku pun mulai menggemakan nama Kinal bukan lagi Kinan. Lagi, kuembuskan napas pelan. Entah bagaimana perasaan Kinal untukku. Aku masih menerka-nerka segala sikap baik dan manisnya selama ini. Sekadar memenuhi tanggung jawabnya akan amanat terakhir Kinan atau ....

"Kak Ve!"

Aku langsung mengangkat kepala, menoleh. Kinal berdiri di ambang pintu sambil menaikkan kacamatanya.

"Maaf, saya minta maaf karena selama beberapa hari ini membuat Kak Ve cemas. Tapi percayalah, saya akan menyelesaikan masalah ini secepatnya, dengan cara saya sendiri. Jadi, Kak Ve enggak usah terlalu menjadikannya beban. Sekali lagi, saya minta maaf sudah merepotkan Kak Ve karena masalah ini."

Kinal pun hendak melangkah pergi.

"Tunggu!" Aku langsung berdiri menghampirinya. Kuberanikan diriku untuk menatap wajahnya yang sedikit lelah. "Kenapa kamu enggak mau bilang ke saya alasan kamu memukul Pak Herman? Apa kamu enggak percaya saya? Kamu menganggap saya orang lain? Saya wali kelas kamu, dan saya juga istri kamu, Kinal. Jadi tolong, setidaknya kamu ce-"

Tubuhku langsung kaku begitu Kinal memelukku begitu saja. Degup jantung langsung berpacu cepat tanpa bisa aku kendalikan. Apa yang sedang Kinal lakukan? Bersamaan dengan rengkuhan yang diberikannya, kurasakan aliran halus listrik seolah menyengatku ketika permukaan kulit kami saling bersentuhan.

"Maafin saya, Kak. Justru karena Kak Ve istri saya. Saya hanya enggak ingin membuat Kak Ve semakin cemas. Maaf," bisik Kinal sambil terus merengkuhku. Tubuhnya terasa gemetaran, aku bisa menangkap kecanggungannya. Maklum, ini pelukan pertama yang ia berikan untukku. Tubuhku pun masih membeku.

"Kalau begitu, saya mau temui Jinan dan Boby dulu. Kak Ve enggak usah berpikiran yang tidak-tidak tentang hubungan kita kalau diketahui mereka, ya. Karena saya enggak ingin lagi sekadar menjadi rahasia bagi Kak Ve."

Setelah mengatakan itu, Kinal langsung melepas rengkuhannya dan melangkah pergi. Aku masih mematung, berusaha keras mencerna semua ucapannya. Mendadak, isi kepalaku benar-benar tidak bisa bekerja dengan baik, aku benar-benar tidak bisa mencerna ucapan Kinal barusan.

Aku pun memilih untuk berdiam di kamar. Entah pertanyaan apa yang akan Jinan dan Boby lontarkan pada Kinal tentang keberadaanku di rumah ini. Ah, memikirkannya saja langsung membuat kepalaku nyaris pecah.

Tapi, tunggu dulu!

Tidak ingin menjadi rahasia lagi bagiku?

Apa itu tandanya?

Kinal akan berterus terang tentang status kami pada Boby dan Jinan.

Tidak mungkin?




Bersambung....

___________________________

Terima kasih.

22-12-2017

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang