17. Terungkap

2.5K 350 46
                                    

Aku mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang ditangkap retina mataku. Mengangkat tangan, perlahan, memijat-mijat pelipis sekadar meredakan rasa sakit yang masih mendera kepala. Kusapu pandanganku ke sekitar kamar, ternyata ... aku sudah berada di kamar.

Pelan-pelan, kumencoba beranjak dari posisi berbaring. Namun, aku seolah tidak punya tenaga. Aku pun kembali lunglai di ranjang empuk.

"Kak Ve! Sudah sadar? Jangan bangun dulu." Suara Kinal terdengar begitu cemas. Membantuku berbaring kembali.

"Apa yang terjadi?" ujarku pada Kinal yang tengah membetulkan balutan selimutku.

Kinal menaikkan kacamatanya yang turun. "Tadi, Kak Veranda pingsan," ucap Kinal dengan ekspresi wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Kalau begitu, biar saya panggilkan Papa-Mama dulu." Kinal pun berlalu dari kamar, aku hanya bisa mengamati punggungnya dalam diam.

Aku menghela napas panjang. Kehamilan ini dari hari ke hari sedikit menyiksaku. Kutatap lekat langit-langit kamar. Entah ada perasaan yang sangat sulit kuurai tiba-tiba menyelusup halus memenuhi rongga dadaku. Antara takut, cemas, dan semuanya. Entahlah, rasanya sangat sulit kuungkapkan. Kuremas selimut tebal sekadar meluruhkan perasaan itu.

Seolah baru menyadari sesuatu, aku langsung beranjak duduk.

"Gawat! Bagaimana kalau tadi, pas aku pingsan Mama manggil dokter," gumamku sambil meremas kembali kuat-kuat selimut tebalku. Menyandarkan punggungku pada bahu ranjang.
Sekadar menebak-nebak.

Suara langkah kaki mengalihkan tatapanku. Aku menoleh ke arah pintu. Kulihat Mama berdiri mematung di ambang pintu dengan raut wajah sulit terbaca. Pelan tapi pasti Mama melangkah masuk mendekati ranjang, menarik kursi, duduk di sana. Duduk tepat di samping ranjangku. Ekspresi wajah Mama membuatku dilingkupi perasaan was-was.

Kulirik ke arah pintu, Papa berdiri di ambang pintu sambil menatapku dengan air muka terlihat sedih.

Ada apa ini?

Jangan-jangan?

Pertanyaan itu terus bergelayut mengganggu pikiranku. Membuatku semakin cemas.

Aku masih terus memasang topeng jika aku baik-baik saja. Mama hanya bergeming sambil terus memandangiku. Berada di situasi seperti ini benar-benar membuatku sangat ketakutan. Takut jika semuanya akan terungkap.

"Veranda!"

Aku menoleh takut-takut ke arah Mama yang menyerukan namaku, romannya terlihat begitu kecewa. Jangan-jangan?—Aku terus menerka-nerka dalam hati.

Hingga kemudian, dengan tiba-tiba Mama melayangkan tamparan kerasnya ke pipiku. Rasa panas, perih, dan sakit yang berpadu merambat cepat hingga ke rongga dadaku. Aku terperangah sepersekian detik menerima tamparan itu. Karena baru kali ini, di sepanjang hidupku, Mama memukulku. Derai air mata mengalir deras di pipi Mama. Membuat suplaian oksigenku terjeda detik itu juga. Aku paling tidak bisa melihat Mama menangis. Namun, sekarang, aku telah membuat Mama menangis.

"Kenapa kamu sembunyikan semuanya, Veranda? Kenapa kamu harus menyimpannya seorang diri? Kenapa kamu tidak bisa menjaga diri kamu sendiri? Padahal, Mama sudah percaya sekali pada kalian berdua. Terutama kamu, Veranda," lirih Mama dengan cucuran air mata. Sepasang tangannya mencengkeram kuat kedua bahuku.

Hatiku seketika remuk mendengar pertanyaan itu meluncur satu persatu dari bibir Mama. Rasa bersalah kembali menghimpit rongga dadaku, melihat Mama yang begitu terpukul sekaligus kecewa setelah mengetahui rahasiaku yang selama ini mati-matian aku tutup-tutupi.

"Kenapa kamu sembunyikan kehamilan kamu, Ve? Kenapa?" Aku merasakan guncangan berkali-kali pada bahuku. Aku hanya tertunduk penuh sesal sambil menggigit bibir bawah berusaha keras menahan suara tangis penyesalan yang hampir-hampir meledak. Dengan sesegukan aku memohon maaf pada Mama.

"Maafin Veranda, Ma. Veranda sungguh minta maaf karena sudah mencoreng kepercayaan Mama. Mencoreng nama keluarga ...," Lidahku kelu seolah tak mampu mengucapkan kata sesal itu. Aku telah menyakiti Mama dan semuanya.

"Maaf, Veranda minta maaf, Ma," ujarku masih terus merendahkan kepala, meminta pengampunan atas kekhilafan fatalku.

"Kenapa harus kamu simpan sendiri? Kamu bisa berbagi dengan Mama, Ve." Aku langsung merasakan tubuh bergetar Mama yang memelukku begitu erat. Detik itu juga, suara isak tangisku tidak bisa lagi kutahan. Aku pun mengeluarkan semuanya, menangis sejadi-jadinya di pelukan Mama sambil terus meminta maaf padanya.

Aku terus merengkuh erat tubuh Mama, memuntahkan seluruh perasaan bersalahku. Belaian penuh kasih sayang masih bisa kurasakan pada punggungku. Meski aku sudah mengecewakannya.

"Maafin aku, Ma. Veranda benar-benar minta maaf," ujarku tanpa jeda. Aku melirik ke arah Papa yang sejak tadi hanya bergeming di ambang pintu kemudian melenggang begitu saja tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Aku sangat mengerti, kalau Papa pasti sangat kecewa denganku. Aku telah mematahkan kepercayaannya yang selama ini telah ia berikan padaku dalam hitungan detik.

Aku langsung menahan napas, mataku membola, begitu menyadari Kinal yang berdiri di ambang pintu entah sejak kapan. Mungkin, tadi terhalang tubuh tegap nan menjulang Papa. Ekspresi wajahnya benar-benar membuatku semakin diselimuti perasaan sesal dan bersalah yang tak ada habisnya.

Secara tidak langsung, aku sudah benar-benar telah merusak masa depannya. Entahlah ... isi kepalaku tiba-tiba kosong, tidak bisa dipakai untuk berpikir lagi. Pandanganku tiba-tiba mengabur, kurasakan tubuhku lunglai di rengkuhan Mama dan semuanya menggelap.



Bersambung....

________________________

Saya tahu, ini pendek sekali dan cuma hanya segini aja yang bisa saya tulis. Maaf, ya ... setidaknya dan mudah-mudahan bisa mengurangi rasa penasaran para pembaca setia cerita ini.

Terima kasih.

16-09-2017

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang