6. Sahabat

3.5K 333 9
                                    

Saya menghela napas sejenak, seolah menahan debar jantung yang terpacu kuat. Melihat kembali gerbang sekolah yang menusuk angkasa seakan terasa asing bagi saya. Berdiri di sini, tepat di depan pintu gerbang sekolah berstatus sebagai salah satu peserta didik di sekolah ini. Namun, di lain sisi, ada status lain yang tersemat pada diri saya dan saya tak akan pernah bisa memungkiri status tersebut. Saya meraba cincin yang saya sembunyikan di balik seragam saya. Pagi tadi, kami sepakat ... untuk menyembunyikan ikatan ini selama kami berada di sekolah. Tentu saja, hal itu tidak akan bisa diterima oleh akal sehat mana pun.

Kejadian pagi seolah kembali tercabut dari pikiran saya.

"Oh iya, Kinal ... selama di sekolah Mama titip, Veranda. Kamu harus jaga istri kamu." Ucapan Mama membuat saya langsung membeku.

Kepala saya seolah kosong tak berisi tak mampu berpikir apa pun akan maksud dari perkataan Mama. Saya terus bungkam karena tidak tahu harus menimpalinya apa.

"Ma, Veranda akan baik-baik saja. Mama enggak perlu khawatir. Ve akan terbiasa kok mengajar di sekolah itu. Um ... hanya saja, mungkin akan lebih baik kalau hubungan kami tidak ada yang tahu. Itu akan lebih baik, bahkan berpura-pura tidak kenal akan jadi pilihan yang tepat. Ve hanya ingin Kinal fokus ke sekolahnya."

Perkataan Kak Ve langsung membuat saya tenang. Saya rasa, itu pilihan yang tepat. Karena bagaimanapun juga, hubungan yang seperti ini tidak akan bisa diterima di lingkungan sekolah. Entahlah, saya benar-benar tidak bisa membayangkan jika status kami terangkat ke permukaan.

Saya melihatnya tersenyum riang, entah apa yang membuatnya seperti itu. Namun, itu sudah cukup membuat saya merasa lega. Setidaknya, Kak Ve berusaha untuk terus melangkah maju melupakan peristiwa kelam setelah kepergian Kak Kinan. Menikah dengan anak ingusan seperti saya tentu saja turut menambah beban pikirannya.

Dan saya, saya belum mampu menjadi seorang pemimpin bagi dirinya. Bukan, bahkan untuk menjadi sekadar pemimpin bagi diri sendiri pun terkadang saya masih tak mampu karena saya hanya seorang remaja labil yang tengah mencari jati diri.

Saya raba kembali cincin yang saya jadikan bandul, karena bagaimanapun cincin ini seolah menjadi pengingat abadi bagi saya jika saya punya tanggung jawab besar akan kehidupan seseorang yang saya harus jaga karena itu adalah janji saya kepada Kak Kinan di detik-detik embusan napas terakhirnya dan janji kepada diri saya sendiri.

Saya menghela napas panjang, mengembuskannya perlahan ... saat ini saya harus belajar lebih giat lagi, bisa lulus di tahun ini, masuk ke universitas yang saya inginkan dan ... Err, mungkin, setelahnya saya akan mencari pekerjaan. Entahlah ... rasanya sangat sulit sekali membayangkan diri saya beberapa tahun ke depan. Tidak, masa sekarang adalah masa sekarang ... biarkan masa depan tetap menjadi misteri yang tak teraba. Saya hanya ingin menjalankan masa sekarang—sisa masa sekolah saya dengan menyenangkan. Karena saat ini, hanya itu yang terpikir di kepala saya.

"Woi, Kinal!"

"Bengong aja lo! Kesambet hantu sekolah baru tahu rasa, lo!"

Saya tersentak hebat saat merasakan sepasang tangan kokoh memukul kedua bahu saya dan suara itu, suara seseorang yang saya rindukan selama liburan sekolah. Suara yang selalu menyemarakkan hari-hari saya di sekolah.

"Eh kamu, Bob. Bikin kaget saya saja." Saya membetulkan letak kacamata saya yang sedikit melorot.

"Gila lo, Nal. Liburan ke mana aja?! Susah banget dihubungi, jangan bilang kalau lo liburan ke dunia lain?" Selorohan Boby langsung membuat pagi ini terasa sangat menyenangkan.

Tidak ada kata yang pantas saya ucapkan selain kata 'maaf' untuknya.

"Maaf, Bob."

"Eh, tunggu?! Lo sehat kan selama liburan sekolah. Kok lo kurusan gitu, ya. Muka lo pucat gitu. Kayak orang lagi mikirin masalah hidup. Mati sulit hidup pun tak mau. Lo ada masalah, Nal?" Wajah Boby terlihat begitu cemas.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang