2. Dia Imamku

5.1K 388 8
                                    

Aku mengamatinya yang tengah mengobrol ringan dengan para sepupuku dari atas sini. Di ruang keluarga, mereka tengah saling melemparkan canda dan tawa. Namun dia, dia hanya tersenyum kecil sambil sesekali merendahkan kepalanya. Dia terus membetulkan letak kacamata bingkai hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Kaus kemeja berkerah warna putih yang ia kancing hingga atas membalut tubuhnya.

Hingga detik ini, rasanya masih seperti mimpi. Jika dialah yang telah menjadi imamku. Suara gemetarnya seolah masih terus terngiang-ngiang di telingaku, tatkala ia mengikrarkan akad nikah kemarin. Bayangan Kinan masih terus memenuhi isi kepalaku. Seakan-akan Kinan-lah yang tengah mengucapkan ikrar tersebut, kemarin. Namun nyatanya, bukanlah Kinan yang mengucapkannya, tetapi adiknya sendiri. Seseorang yang tidak aku kenal. Bukan, hanya saja aku belum mengenalnya lebih dekat lagi. Seseorang yang sebelumnya, hanya aku tahu dari cerita Kinan.

Dengan wajah semringah Kinan selalu menceritakan tentang hal-hal kecil yang dilakukan oleh adik kecilnya selama ia pulang dari tugasnya di kota ini. Kami pun hanya bersitatap beberapa kali tanpa ada obrolan berarti. Jika aku tengah mengunjungi rumah orangtua Kinan.

Kinan bekerja sebagai konsultan perusahaan tambang di kota ini. Singkat cerita, lewat benang takdir-Nya, Tuhan mempertemukan kami untuk saling jatuh cinta. Karena sudah merasa nyaman satu sama lain. Akhirnya ... kami memutuskan untuk membawa hubungan kami ke jenjang pernikahan.

Namun, ternyata, lewat takdir Tuhan jualah kami dipisahkan untuk selama-lamanya. Satu minggu sebelum prosesi pernikahan, Kinan mengalami kecelakaan lalu lintas. Kinan sempat koma selama tiga hari, di hari keempat ia terbangun, hari berikutnya kondisi Kinan pun stabil. Namun, tepat di hari keenam, kondisi Kinan kembali drop. Di hari itu jua, untuk terakhir kalinya, aku mendengar suaranya.

Di sisa embusan napas terakhirnya, dengan suara terputus-putus ia memintaku dan adiknya sendiri untuk tetap melanjutkan rencana pernikahan kami. Demi kehormatanku sendiri, dan tentu saja demi nama baik kedua belah pihak keluarga. Awalnya, aku menolak keras permintaan terakhir Kinan. Karena bagaimanapun juga, aku tidak bisa menikahi adiknya. Ditambah lagi, status dan perbedaan usia kami yang sangat jauh. Namun pada akhirnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kedua orangtua kami pun memutuskan untuk meluluskan permintaan terakhir Kinan. Mau tak mau, dengan berat hati aku pun luluh. Semuanya demi wasiat terakhir Kinan.

Tidak ada pernikahan yang meriah seperti rencana awal. Acara resepsi yang rencananya akan digelar secara besar-besaran pun kami batalkan. Mengingat tanah pusara Kinan yang masih basah. Belum lagi, mengingat usianya yang masih terbilang muda. Keluarga besar kami pun memutuskan menggelar acara akad nikah dengan sangat sederhana. Dan hanya dihadiri oleh pihak keluarga saja. Pernikahan ini seolah menjadi rahasia kedua belah pihak keluarga. Tidak seorang pun yang tahu, bahkan kerabat jauh serta sahabat-sahabatku, hanya mengetahui jika pernikahanku dibatalkan.

Aku masih terus mengawasinya yang terlihat begitu khidmat, mendengarkan lawakan para sepupuku. Suara tawa mereka menggema di ruangan keluarga. Namun dia, dia hanya menyunggingkan senyum samar. Liburan akhir tahun, yang seharusnya ia nikmati bersama teman-teman sekelasnya, seolah berubah menjadi mimpi buruk. Terdampar di sini, dengan status baru dan tanggung jawab besar yang harus ia emban seumur hidupnya sebagai imamku.

Aku masih ingat, kemarin, ia menangis di pelukan Papanya. Baru kali ini, aku melihat seorang pria menangis seperti itu. Karena bagaimanapun juga, dia hanyalah seorang anak remaja biasa. Yang dibebani sebuah tanggung jawab yang teramat besar. Usia remaja, yang harusnya ia habiskan untuk bermain bersama teman sebayanya. Berpetualang mencari pengalaman hidup, dan sebagainya.

Namun dia, dia seolah terkukung dengan status barunya sebagai kepala keluarga. Walaupun keluarga kami tidak memaksa kami untuk menjalani hubungan layaknya seorang suami-istri pada umumnya. Namun tetap saja, statusku kini adalah; seorang istri. Yang harus menjalankan kewajiban sebagai istri dengan menaati dan melayani suamiku.

Karena bagiku, sebuah pernikahan adalah proses belajar yang tak mudah dan tak berkesudahan. Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang terajut oleh hubungan dua insan hingga akhir usia. Aku hanya ingin, pernikahan kami menjadi yang pertama dan terakhir. Walau aku sadar, hal ini tidak akan mudah. Mengingat usianya yang terbilang muda. Perbedaan kami pun terlihat begitu nyata. Namun, apa pun itu, aku ingin belajar menghargainya sebagai suamiku--imamku. Ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Meski rasa canggung, malu, dan tidak enak hati selalu menyergapku tatkala kami bersitatap.

Sejak akad nikah kemarin, aku dan dia memang belum sama sekali berinteraksi. Kami hanya saling bertukar pandang, tanpa ada obrolan berarti. Setiap kali kami berpapasan, dia selalu terlihat cepat-cepat membuang pandangannya. Entah kenapa ... aku pun merasa sangat amat canggung setiap kali bersitatap dengannya.

Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan. Agar ikatan suci yang mengikat kami bisa bertahan selamanya hingga maut menjemput.


Bersambung.....

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang