3. Belajar Berlapang Diri

4.3K 336 8
                                    

Saya menatap nanar rintik-rintik hujan yang kian menderas di luar sana dari balik dinding kaca balkon kamar. Suara guntur terdengar bergemuruh seolah-olah akan meruntuhkan langit. Cahaya kilat terlihat seperti bentangan sinar yang sangat menakutkan. Saya menghela napas panjang, ketika satu per satu rangkaian prosesi akad nikah kembali terbit di pikiran. Saya tak ingin mengingatnya. Namun, saya tak bisa jua menolak kejadian yang teramat penting dalam hidup saya kala kembali mengusik kesadaran saya.

Entah saya harus merasa bahagia atau menangisi jalan takdir yang telah Tuhan pilihkan untuk saya. Di usia semuda ini, usia di mana saya masih ingin merasa bebas mengarungi dunia tanpa harus memikul sebuah tanggung jawab besar yang bahkan sebelumnya, tak pernah terbesit sedikit pun di benak saya. Jika saya harus menikahi seseorang yang dulu sangat saya hormati. Yaitu; calon pendamping hidup kakak saya sendiri.

Demi meluluskan permintaan terakhir mendiang Kak Kinan. Seakan-akan, saya dipaksa membenamkan diri pada palung masalah yang tak berujung. Entahlah, saya sungguh tak mengerti arti sebuah pernikahan. Untuk menjalaninya saya pun tak tahu. Harus apa dan bagaimana melewatinya. Jika memikirkan semua itu, rasa takut saya semakin membuat saya nyaris ingin menghilang dari dunia ini.

Akan tetapi, Kak Kinan selalu mengatakan hal yang hingga detik ini selalu terekam di pikiran saya. Seorang pria sangatlah tidak keren, jika ia lari dari masalah. Begitulah yang sering Kak Kinan ucapkan kepada saya. Kata-kata itulah yang seolah menjadi penyemangat bagi saya. Entahlah ... saya benar-benar tidak bisa berpikir apa-apa tentang pernikahan ini.

Demi nama besar kedua keluarga, saya dan Kak Ve pun harus rela menjalani hubungan semacam ini. Hubungan yang mungkin bagi pasangan yang baru saja mengikrarkan janji suci mereka akan merasa sangat bahagia. Namun, tidak bagi saya. Begitu juga dengan Kak Ve, karena saya pun sangat tahu satu-satunya pria yang sangat ia cintai hanyalah Kak Kinan. Satu-satunya pria yang berhak mengarungi lautan kehidupan bersamanya hanyalah Kak Kinan. Bukan saya, saya hanya seorang anak SMA yang masih gamang memikirkan masa depan saya. Mengingat kenaikan kelas baru saja berlangsung. Tahun depan, saya pun harus mempersiapkan semuanya. Mengikuti ujian nasional dan jika lulus saya berencana masuk ke universitas favorit di Yogyakarta.

Namun, setelah pernikahan ini, suka tidak suka, mau tidak mau, saya pun harus memikirkan keberadaan Kak Ve di hidup saya. Meski saya ragu. Bukan, bahkan saya sangat ragu, mampukah saya melakukan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya dengan baik. Karena saya hanya seorang remaja labil. Saya sangat sadar akan itu. Saya pun sangat takut, jika pernikahan ini hanya akan berujung menyakiti Kak Ve.

Cinta, entahlah ... saya pun belum pernah merasakan perasaan satu kata itu. Saya terlalu tidak peduli dengan itu semua. Saya lebih suka melakukan hal-hal yang saya sukai selama berada di sekolah. Tidak pernah terbit sedikit pun untuk mencari 'pacar' atau 'kekasih' seperti teman-teman saya di kelas. Bagi saya, itu terdengar sangat merepotkan. Di mana seseorang harus rela menyisihkan waktu berharganya hanya untuk sekadar jalan berdua, menelepon kekasihnya, atau kegiatan lainnya. Entahlah, saya benar-benar tidak mengerti tentang hubungan seperti itu.

Akan tetapi, dengan status saya yang sekarang ini pun benar-benar membuat saya takut dan khawatir. Menurut buku yang saya baca, pernikahan adalah ikatan suci bukan sekadar untuk main-main. Sebuah simpul hubungan yang hanya bisa diputus oleh maut. Jika mengingat kata-kata itu, saya semakin merasa takut. Takut tidak bisa mengemban amanat itu, karena bagaimanapun juga, pernikahan ini terjadi di luar dugaan. Di luar kemauan kami semua. Saya hanya berharap, Tuhan mau membantu saya, menetapkan hati saya, agar saya bisa mempertahankan pernikahan ini hingga maut menjemput salah satu dari kami.

Meski saya sadar, cinta di antara kami tak pernah ada. Setidaknya, demi Kak Kinan, saya rela memberikan hidup saya untuk menjaga orang yang sangat ia cintai. Demi Papa dan Mama juga, dan demi Kak Ve jua. Meski saya harus rela membuang jauh-jauh keinginan saya. Saya harus belajar untuk tidak egois demi kebahagiaan semua pihak. Jika ada satu orang yang harus dikorbankan untuk itu. Saya rela menjadi tumbalnya. Saya pun harus belajar berlapang diri
untuk menerima jalan takdir yang telah Tuhan pilihkan untuk saya.

Masa depan adalah sesuatu yang tak teraba, karenanya, saya hanya ingin menjalani kehidupan sekarang ini dengan sebaik-baiknya. Karena kini, saya hidup bukan untuk diri saya sendiri. Ada seseorang yang perasaannya harus selalu saya jaga.

Semoga saja, saya bisa melewati semuanya dengan baik. Iya, semoga saja. Hanya itu harapan saya untuk di masa depan.




Bersambung....

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang