Aku terus menengok jam kulit yang melingkari tangan kananku seraya menghela napas beberapa kali berusaha mengenyahkan berbagai pikiran yang sejak tadi bergelayut menggangguku. Aku tidak menyangka sama sekali, ditunjuk menggantikan Ibu Stella yang cuti melahirkan sebagai wali kelas ini. Entah apa yang tengah semesta rencanakan untukku. Hari pertama mengajar di sekolah ini, benar-benar membuatku gugup. Bukan karena aku tidak terbiasa, hanya saja ... keberadaan Kinal di kelas inilah yang membuatku merasa sedikit tidak nyaman.
Bukan apa-apa, karena status kamilah yang menjadi alasannya. Mungkin, bagi kebanyakan orang yang tidak mengetahui alasan atas pernikahan kami, sudah tentu akan mencibir. Ah, aku terlalu banyak berpikir. Kubalik lembaran LKS mata pelajaran Sejarah. Di hari pertama mengajar, anak-anak sudah kutugaskan mengisi lembar kerja padahal masih terlalu awal di ajaran tahun baru. Tidak mengapa, hitung-hitung mereka mempersiapkan diri untuk ujian akhir nanti. Karena bagi kelas tiga seperti mereka, tidak ada kata santai lagi.
Kuhembuskan kembali pelan napasku, sekadar mengeyahkan berbagai pikiran yang satu per satu masih terus memenuhi isi kepalaku. Tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika ada yang mengetahui status antara aku dan Kinal. Dan aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya nanti. Ini bukan tentangku saja, tapi Kinal juga. Kulirik kembali jam tanganku, masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum bel istirahat berbunyi. Rasanya, sama seperti menunggu 10 jam lamanya.
Kuangkat kepala perlahan, aku langsung menahan napas begitu tatapan kami bertubrukan. Cepat-cepat Kinal membuang pandangannya ke arah luar. Entahlah, kami benar-benar merasa canggung satu sama lain berada di dalam situasi seperti ini.
Diratama Kinal Putra
Tanpa aku sadari, aku bergumam dalam hati mengeja nama lengkapnya yang tertulis di buku absensi yang masih terbuka entah sejak kapan. Lagi-lagi, kuhela napas sepanjang mungkin untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman ini.
Tet!
Akhirnya, bel jam istirahat pun berbunyi. Kurapikan buku-buku dan berlalu ke luar kelas. Aku bisa bernapas dengan lega.
.
..
"Bagaimana hari pertama mengajarnya, Bu Veranda?" Pertanyaan dari Bu Yona menghentikan aktivitas makanku.
Aku menelan sisa makanan yang ada di dalam mulutku. "Semuanya lancar, Bu."
"Syukurlah, saya senang mendengarnya. Saya harap, Ibu Veranda bisa betah mengajar di sekolah ini." Bu Yona tersenyum simpul.
"Semoga saja, Bu."
"Selamat siang!"
Aku langsung mendongak mendengar suara bariton menyapa gendang telingaku. Seorang guru berpakaian seragam olahraga berwarna biru tua terdapat garis melintang di bagian dadanya. Ah, aku terlalu memerhatikannya.
"Selamat siang," jawabku kompak bersama Bu Yona.
"Saya dengar, Ibu guru baru, ya."
Aku mengernyit mendengar ucapannya, belum lagi melihat ekspresi Bu Yona yang sulit terbaca olehku.
"Benar sekali, Pak."
Guru itu tersenyum lebar, jika diperhatikan ia seperti guru olahraga di sekolah ini. "Ah, syukurlah." Guru itu mengulurkan tangannya sambil terus menyimpulkan senyum di bibirnya yang tebal kemerahan. Kurasa, ia guru yang masih terbilang muda di sekolah ini.
"Kalau begitu, selamat datang, Bu ...,"
"Veranda, Jessica Veranda."
"Ah, iya ... kalau begitu selamat mengajar di sekolah ini. Saya Her—"
"Um, permisi!"
Suara Kinal langsung membuatku menoleh dan mengacuhkan keberadaan dua orang tadi.
"Iya."
"Um ... saya harus meletakkan LKS ini di mana?"
Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi gugup seketika. "Ah, iya ... letakkan di sini saja." Tunjukku pada ruang sedikit kosong pada mejaku yang dipenuhi beberapa buku.
Tanpa banyak bicara Kinal langsung menaruh tumpukan LKS itu di mejaku.
"Saya permisi," ucap Kinal langsung berlalu begitu saja.
Aku mengamati punggungnya yang menghilang di ambang pintu kantor guru. Kembali, aku menarik napas sepanjang mungkin. Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Aku terlalu mengkhawatirkan status kami yang mungkin saja akan diketahui orang lain.
"Bu Veranda!"
Suara guru pria tadi langsung mengentak kesadaranku.
"Ah iya, maafkan saya, Pak ...," Aku tersenyum canggung, karena tadi sedikit mengabaikannya. "Dengan Pak siapa?"
"Herman Baskara."
Hm, Herman Baskara, ya.
Pak Herman kembali mengulurkan tangannya. "Ibu Veranda, bisa panggil saya dengan Herman saja."
Ragu-ragu, kujabat tangannya. Cukup lama, Pak Herman menggenggam tangannku. Itu benar-benar membuatku risih.
Suara dehaman Bu Yona, langsung membuat Pak Herman melepaskan jabat tangannya. Ah, syukurlah ada Bu Yona.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu. Mari Bu Yona."
Pak Herman melenggang begitu saja. Kulirik Bu Yona yang memandang tidak suka ke arah Pak Herman.
"Bu Veranda, hati-hati dengan Pak Herman. Dia itu playboy di sekolah ini. Bukan cuma guru yang dimodusi sama dia. Siswi-siswi juga sudah banyak yang jadi korbannya," bisik Bu Yona sepelan mungkin.
Aku langsung menatap lekat Bu Yona, seolah memintanya kebenaran akan ucapannya tadi.
"Saya bilang begini, karena saya pun termasuk korbannya. Ibu Veranda hati-hati saja. Saya permisi sekarang, harus menyiapkan materi untuk nanti."
Bu Yona pun berlalu dari mejaku. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menyerukan namanya.
"Bu Yona!"
"Terima kasih," ucapku. Bu Yona hanya tersenyum lalu meneruskan kembali langkahnya.
Aku merasa beruntung bertemu dengan orang yang peduli seperti Bu Yona. Setidaknya, aku bisa menjaga jarak dan berhati-hati dengan Pak Herman.
Kuhempaskan punggungku pada kepala kursi, aku tidak boleh berpikiran seperti ini terus. Aku hanya terlalu banyak mengkhawatirkan hal-hal yang sebenarnya belum tentu terjadi. Dan ini hanya akan mengganggu produktivitas mengajarku di sekolah ini, bukan.
Bersambung....
_______________________
18-08-2017
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Lover [END]
Fanfiction[17+] Ini hanyalah kisah tentang hubungan dua insan dengan segala kerumitan di dalamnya. Attention! Jangan buka cerita ini! Jika tidak ingin kecewa.... Happy Reading!