19. Permintaan

2.7K 347 34
                                    

Wulan menyandarkan bahunya di kusen pintu kamar Kinal. Menatap sang putra yang tengah menyendiri, di balkon. Ia sangat mengerti jika beban hidup putra bungsunya bisa dikatakan sangat miris. Menikah di usia sangat amat muda karena sebuah amanah Kinan. Dan sekarang, harus menerima kenyataan jika dirinya akan menjadi seorang ayah. Meskipun, bukan darah dagingnya tapi Kinal sangat menyayangi Kinan, dan sudah dipastikan Kinal akan berusaha menerima janin yang tengah berkembang di rahim Veranda.

Kinal memang tipe anak yang selalu menyimpan semuanya sendiri. Ia tidak terlalu bisa terbuka dengan dirinya, mengingat sejak kecil Kinal memang sangat dekat dengan Haris.

Wulan menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan sambil melangkah masuk. Mendekati Kinal yang masih terus berdiri menghadap ke arah senja.

"Senjanya bagus, ya." Wulan menggumam, namun suaranya jelas terdengar. Menengadah, mengamati warna kemerahan bercampur jingga.

Kinal menoleh, menyunggingkan senyum khasnya seraya menaikkan kacamatanya.

Lagi, Wulan membuang napas cepat. "Mama minta maaf, Nak," ujar Wulan dengan pandangan lurus ke angkasa.

Tangannya menggenggam tangan Kinal yang mencengkeram besi silinder dingin pembatas balkon. Kinal menoleh, balas merengkuh tangan Wulan yang sedikit dingin karena terpaan angin sore.

"Kenapa Mama minta maaf?"

Wulan berbalik, mengamati sejenak wajah Kinal kemudian menunduk lesu. "Maafkan Mama, karena menarik kamu ke dalam tanggung jawab yang teramat besar dan berat, Nak." Satu bulir air mata Wulan meluncur begitu saja.

Kinal menguatkan genggaman tangannya. "Ma, jangan menyalahkan diri Mama. Ini sudah jadi bagian dari takdir Kinal. Sebenarnya ...," Kinal menjeda ucapan kala isi kepalanya kembali membayangkan tentang bagaimana masa depannya, nanti.

"Kinal juga takut, Ma. Kinal merasa belum siap untuk semua ini. Bukan, Kinal bener-bener tidak siap untuk semua ini. Tapi, bagaimanapun juga ... semuanya sudah terjadi. Dan janin yang ada di kandungan Kak Veranda adalah darah daging Kak Kinan. Saat ini, yang Kinal bisa lakuin cuma berusaha untuk menjaga amanat terakhir Kak Kinan, Ma."

Deraian air mata Wulan pun semakin tak terbendung, mengalir membasahi pipi. Mempunyai anak seperti Kinal membuatnya merasa sangat bangga sekaligus haru.

"Mama hanya takut, kalau kamu ...," Suara isak itu terdengar semakin jelas. Wulan mengeratkan genggaman tangannya. Tubuhnya sudah bergetar sejak beberapa detik lalu.

Merasa tak tega dengan sang mama, Kinal melangkah maju, memeluk Wulan sekadar memberi rasa nyamannya.

"Ma, Mama enggak perlu khawatirin Kinal. Kinal tahu, Mama pasti sangat mengkhawatirkan Kinal, 'kan. Kinal baik-baik aja, Ma. Mama enggak usah khawatir, ya." Kinal semakin merengkuh kuat tubuh sang mama. Wulan mengangguk, rongga dadanya tiba-tiba terasa ringan setelah mendengar pernyataan itu dari Kinal.

Wulan merenggangkan pelukannya. Menyeka sisa air mata yang tertinggal di pipi.

"Terima kasih, Nak. Setidaknya, sekarang ini ... mama merasa lega. Kalau kamu ada apa-apa, jangan pernah sungkan ke mama, ya. Jangan pernah kamu simpan sendiri. Kamu mengerti?"

Kinal mengangguk mantap sambil mengangkat sudut bibirnya. "Mengerti, Ma."

Wulan membuang napas panjang. "Oh iya, beberapa hari ke depan .... Mama mau ke luar kota, nyusul Papa kamu. Ada beberapa berkas hotel yang harus mama bawa ke sana. Kamu enggak apa-apa, 'kan. Mama tinggal?"

Kinal mengurai senyum lalu menggerakkan kepalanya. "Iya, Ma. Mama jangan khawatir." Ia membetulkan letak kacamatanya yang turun. "Um ... kalau Kinal boleh tahu, ada masalah apa di hotel, Ma? Sampai-sampai, Papa jarang pulang," tambah Kinal dengan air muka cemas.

My Secret Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang