Ini sudah dua hari dari waktu aku berbicara dengan Rasta dan hendak untuk membenahi temaniku dengan namun itu hanya stuck pada rencana saja. Untungnya tugas menggila yang diburu deadline sedikit mengalihkan pikiranku dari si cowok paripurna itu.Sebagaian sudah ku print out. Tinggal menggabungkannya dengan yang sudah dibuat oleh Cia temanku. Setelah menyelesaikan tugas ini aku berencana menyusul Rasta ke luar kota. Kebetulan daerah yang tengah didatangi oleh Rasta tak jauh dari kediaman Tanteku.
Aku cukup beralasan sedang mengunjungi Tanteku dan ingat kalau Rasta juga berada di daerah itu. Ya, seperti itu. Membayangkannya membuatku jadi lebih bersemangat.
Langkahku semakin cepat. Terlalu bersemangat menyelesaikan tugas hingga tiba-tiba kurasakan sesuatu menubruk bahu kananku dengan keras dari arah depan. Refleks tanganku yang memegang lembar tugasku jatuh berhamburan dengan pendaratan yang pasti pada permukaan paving block kampus yang lembab dan kotor.
Astaga. Bahuku sakit. Itu pasti, namun sakitnya bisa kutahan dan sembuh. Tapi tugasku? Rasanya mau nangis. Padahal untuk mengerjakannya saja aku sudah mengorbankan waktu tidurku. Oke bukannya aku tidak ikhlas. Lagipula aku masih punya salinannya. Jadi semua akan baik-baik saja.
Kupandang seorang gadis yang sejak tadi hanya diam terpaku di depanku. Matanya terlihat santai. Terlalu santai malah. Tidak mengesankan ekspresi orang yang sedang merasa bersalah.
"Kamu." Jeritku pelan. Aku sadar jika berada di tempat yang mayoritasnya adalah orang-orang menjunjung tinggi martabat dan pluralitas. Sangat tidak bijaksana jika aku berteriak dan memancing perhatian orang banyak.
"Ya. Kenapa?" Dia bertanya. Namun jelas sekali jika itu hanya dia anggap angin lalu. Tidak berminat sama sekali. Lalu untuk apa dia diam sejak tadi di dekatku kalau memang tidak merasa bersalah hingga harus meminta maaf? Dia mau jadi patung?
Aku tidak tau jelasnya apa. Melihat gadis itu seakan mengingatkanku dengan Rasta. Aku menatapnya dari kaki hingga ke wajahnya dengan tatapan menilai namun tanpa prasangka.Semakin mirip dengan Rasta saat ekpresinya diam begini. Rasanya seperti berhadapan dengan Rasta versi perempuan saja.
Percuma saja meladeni dia. Lebih ku pungut kertas-kertas yang tadinya begitu berharga dan meletakkannya di tempat yang layak. Oke tempat yang kumaksud layak adalah tempat sampah. Aku menatap gadis itu yang masih betah menjadi patung dan meninggalkannya dengan cepat. Ada yang lebih penting dari sekadar meladeni orang itu.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Into You (Completed)
ChickLitMasalah yang dihadapi oleh Medina itu klise. Dia naksir sama orang yang salah. Bukan orangnya yang salah tapi pilihan Medina yang keliru. Jelas saja jika perasaan sukanya terhadap orang itu lumrah disebut sebagai cinta sepihak. Kasian banget! Disc...