Yang sehari menjadi seminggu, yang seminggu menjadi sebulan. Bahkan sekarang sudah genap dua bulan. Rasta benar-benar menepati janjinya untuk tidak melibatkanku dalam setiap rencana hidupnya.Bagaimana aku bisa menjelaskan perasaanku sekarang. Sesak, pasti. Sedih, sudah sangat. Menangis, tak terhitung berapa kali.
Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan Rasta melakukan apa yang ia mau. Pertanyaannya adalah sampai kapan aku sanggup?
Semua semakin abu-abu. Aku tidak tahu agar perasaan aneh ini bisa hilang. Keadaan mungkin terlihat normal-normal saja. Aku masih bisa ke kampus seperti dulu. Aku juga masih melakukan hal-hal yang kusukai. Melihat Rasta dari jauh. Menatapnya dari jarak yang tidak bisa membuatku puas.
Tentu saja, hanya berada di dekat Rasta lah tempat yang kuanggap paling kucari. Dan sekarang aku harus melakukan semua itu, lagi aku kembali menjadi penguntit yang mengambil Rasta.
Aku berdiri di samping loker besi yang cukup tinggi. Dari jarak sekitar sepuluh meter Rasta bejalan mendekat ke arahku dengan pandangan yang fokus ke arah kertas yang dipegangnya.
Rasta kelihatan lain. Mungkin karena frekuensi untuk melihatnya berkurang hingga perubahan fisik yang Rasta alami jadi semakin nampak. Aku merasa dia terlihat lebih lelah dengan wajah pucat, bayang hitam di kedua kantung matanya yang bengkak.
Sepertinya aku telah melewatkan banyak hal.
Aku tidak yakin mengapa, rasanya kedua kakiku menjadi lebih ringan dan seakan ada yang menuntunku untuk terus mendekat. Hingga menghalangi jalan Rasta.
Awalnya dia hanya diam menunggu sesorang yang menghalangi jalannya untuk menyinkir. Aku? Tentu saja menjadi kaku seperti robot. Seluruh tubuhku telah diberi perintah agar tetap diam di depan Rasta.
Pandangan Rasta mulai tertuju ke arahku. Dia tidak langsung bereaksi. Melainkan hanya diam terpaku seperti yang kulakukan hanya saja Rasta lebih memilih mengalihkan pandangannya dariku.
"Rasta?" Panggiku dengan suara tercekat. Sulit rasanya menyugesti diriku agar bersikap biasa saja di depan Rasta.
Rasta kemudian mengangguk. Terlihat begitu malas mengahadapiku. Pemikiran jika Rasta sama sekali tidak ingin menghadapiku membuat perasaan yang tidak jelas ini makin berkembang.
"Mau kemana?" Tidak ada yang bisa kukatakan selain hanya tetap mempertahankan percakapan awkward ini dengan Rasta. Aku hanya ingin bisa lebih lama berada di dekatnya.
"Kayaknya itu bukan urusan elo."
Butuh waktu yang lama kalimat yang ia ucapkan dengan nada biasa itu bisa kucerna. Menelaah maksud dari Rasta itu. Setelah dia meninggalkanku sendiri.
Sungguh aku sangat mengutuk diriku ini yang tetap bahagia karena melihat dan mendekat dengan Rasta. Apa kebahagiaanku sedangkan itu? Apa aku egois hanya karena mementingkan perasaanku hingga aku sering mengabaikan bagaimana Rasta harus menerima keberadaanku ini.
Apa aku sudah ditakdirkan agar kebahagiaanku itu bergantung pada satu orang?
Andai aku bisa mengubah sedikit saja garis yang sudah ditentukan Tuhan maka aku akan memilih untuk jatuh cinta pada orang yang mencintaiku. Bukannya pada Rasta.
-TBC-
KAMU SEDANG MEMBACA
Into You (Completed)
ChickLitMasalah yang dihadapi oleh Medina itu klise. Dia naksir sama orang yang salah. Bukan orangnya yang salah tapi pilihan Medina yang keliru. Jelas saja jika perasaan sukanya terhadap orang itu lumrah disebut sebagai cinta sepihak. Kasian banget! Disc...