Epilog

1.1K 34 0
                                    

Tidak akan ada yang menyangka jika seiring berjalannya waktu, segala rasa yang tidak pernah hilang secara perlahan memudar juga. Tak terkecuali rasa sukaku pada Rasta.

Kami tidak pernah lagi berkomunikasi. Bahkan Rasta tidak lagi mencoba untuk menjelaskan sesuatu padaku. Ia tetap bungkam kala kami tak sengaja bertemu. Layaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal.

Awalnya aku berharap ia akan datang, berbicara mengenai rasa yang tak sempat terkata hingga aku harus terus menerka hingga jera.

Meski hati manusia tak ada yang tahu, sekalipun pemiliknya. Aku akan sangat senang jika memang ini yang Rasta inginkan.

Waktu berjalan, Rasta, Cia, semuanya menjadi berubah tanpa mampu kuanulir aku kehilangan apa yang paling kumimpikan.

Sekarang.

Bagaimana aku harus tetap berjalan seolah aku tidak kehilangan apa-apa.

Aku masih sama, aku masih Medina yang terlalu polos akan perasaannya sendiri.

Jadi Bumi, apakah kau siap melihatku untuk bersandiwara?

Menjadi lain untuk wajah yang terlalu sering nampak lengah ini?

Apa Rasta pernah memikirkan bagaimana sulit bagiku untuk melupakannya?

Apa ia berpikir jika perasaanku sedangkal itu?

Tidak perlu kusesalkan. Bukan salah dia jika memang tidak pernah peduli padaku. Baginya mungkin aku hanya seorang gadis yang tak sengaja ia temui di dalam supermarket dekat kampus.
Baginya mungkin aku hanyalah seorang gadis yang begitu gila untuk melihatnya.

Dengan hujan rintik aku berjalan, berpayung dengan motif polos yang tak sengaja kutemukan di dalam gudang. Semester baru akan dimulai beberapa hari lagi, dan aku butuh persiapan.

Suara langkah yang berada di sampingku sedikit membuatku terkejut, karena dari samping aku bisa melihat jika yang berjalan itu Junior.

Aku terus melangkah dengan tidak mengacuhkan Junior, laki-laki itu tidak mengenakan payung, beberapa bagian kaosnya basah. Hujan yang awalnya rintik itu mulai deras. Langkahku juga tidak bisa membuatku untuk semakin menjauh lantaran langkah Junior jelas lebih panjang.

Sentuhan di pergelangan tangan kiriku membuatku nyaris berteriak. Rasanya. Jantungku mau copot.

"Junior!" Jeritku ke arahnya.

"Ya ampun kamu nggak perlu teriak sekeras itu, aku masih punya pendengaran yang normal."

"Ngapain kamu ngikutin kayak stalker gitu?"

Junior tertawa keras mendengar perkataanku. Bahkan masih terdengar di tengah hujan yang semakin mengeras. Dengan berat hati, aku terpaksa membagi payung yang tidak seberapa besar ini dengan Junior.

"Kamu kebanyakan nonton thriller sich! Makanya jadi berimajinasi yang aneh-aneh." Junior mengusap ujung matanya yang basah.

Aku hanya diam mendengarkan laki-laki yang kedatangannya sejak awal sama sekali tidak kusangka akan menaruh perhatian padaku. Jangan mengira bahwa aku sedang berbesar kepala. Tidak aku hanya berpikir jika Junior tidak ada, mungkin hidup akan menjadi abu-abu sekarang ini, tanpa Junior, tanpa Cia, dan tanpa keluarga.

Mungkin Junior adalah satu kebaikan yang sengaja tuhan kirim. Aku mulai menyayangi laki-laki yang kini tengah menarik pergelangan tanganku untuk mencari tempat berteduh.

Kenapa baru kusadari bila Junior itu orang yang baik? Mungkin karena ia memutuskan Cia saat hubungan mereka sangat pendek.

Ya, setidaknya ia tidak seburuk itu. Dia memang menarik untuk ukuran laki-laki yang tidak terlalu peduli dengan penampilannya. Atau aku yang terlalu percaya pada Cia? Sahabat yang kupikir baik ternyata tidak cukup baik.

Aku hanya ingin bisa sedikit memahami perasaan mereka, meski sudah sangat terlambat. Sekarang ada Junior dan belum terlambat untuk mencoba memahami isi hatinya.

---
Jangan ketinggalan ya sama cerita kedua dari Into You yang judulnya Melody From The Past..

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang