56. Semua Gara-gara Junior

266 13 0
                                    

Pagi yang kembali membangunkanku sekali lagi. Tak terhitung berapa pagi yang telah kulewati tanpa Rasta. Hhh aku suka kesal dengan diriku yang masih saja galon dari Rasta alias gagal move on. Padahal kami tak memiliki kaitan ataupun simpul sehingga perpisahan kami ini sampai harus menorehkan luka yang dalam, sepertinya aku perlu mandi secepatnya agar pikiranku bisa kembali jernih.

Masih terlalu pagi. Sekarang sudah tiba waktunya musim final yang dibarengi dengan perubahan cuaca yang tidak menentu. Kubuka tirai jendela kamarku setelah menggunakan kaos coklat dan panty hijau. Cuaca kelihatan sangat cerah saat ini. Tapi siapa yang yakin jika nanti tak hujan.

Hari ini aku memiliki jadwal final jam 10 pagi. Masih lama, sekitaran dua jam lagi. Lebih kuhabiskan waktu untuk kembali mengingat materi waktu perkuliahan. Tidak memerlukan hitungan memang tapi juga tidak begitu mudah. Jadi aku harus tetap belajar, lagipula secara logika jika mau dapat nilai yang bagus harus belajar bukan?

--

Final tadi berjalan dengan lancar meski ada soal yang sama sekali tidak kumengerti. Tapi selebihnya aku sudah sangat yakin dengan jawabanku. Semoga tidak terlalu mengecewakan. Harapku menghibur diri.

Sudah jadi kebiasaan bila menggunakan otak dengan keras maka perut pun akan menuntut segera diisi. Segera ku arahkan kakiku ke kantin, sekarang memang sudah waktunya jam makan siang. Kantin kampus pasti sedang penuh-penuhnya. Mana kantin terdekat di sini cuma satu! Daripada berdesak-desakan lebih baik aku makan di luar saja.

Aku menopang daguku dengan kedua tangan sambil menunggu mas-mas menyajikan pesanan soto ayamku. Di tempat ini pun juga dipenuhi oleh parah pengunjung. Aku sengaja memilih tempat yang agak di pojok. Tempat yang paling strategis untuk melamun tanpa takut kalau-kalau ada yang melihat kemudian mengerutkan kening.

Biasanya aku selalu bersama dengan Jio atau Cia saat makan siang. Tapi sekarang, ya kami jadi jarang berkomunikasi. Cia selalu saja memiliki alasan untuk menghindariku, sementara Jio, laki-laki itu seperti sedang mabuk cinta saja. Selalu bareng Lolita kecuali jika Jio sedang kuliah. Di lain waktu atau kondisi, ia akan mencurahkan waktunya untuk Lolita yang makin lama makin kolokan.

Tapi sebenarnya aku sedikit iri dengan Lolita. Gadis itu sangat beruntung memiliki Jio. Tidak perlu banyak usaha dia sudah mendapatkan perhatian yang berlimpah, hingga aku sahabatnya Jio jadi ditelantarkan. Semoga saja hubungan mereka yang seperti itu bisa bertahan lama.

"Hayoo mikirin apa lo?" Suara keras yang tiba-tiba itu membuatku dengan refleks terlonjak. Beberapa pengunjung rumah makan ini bahkan memalingkan wajahnya ke arahku. Aku hanya memasang wajah datar, padahal aslinya aku sangat malu. Kutatap penyebab dari kekagetanku. Junior tersenyum seolah tidak merasa bersalah karena telah membuatku malu, jelas saja itu semakin menaikkan tensiku.

"Ngapain kamu di sini? Nggak ada ujian apa?" Tanyaku berusaha melupakan kekesalanku sebab kesal sama sekali tidak memberikan keuntungan selain Junior yang akan merasa menang karena telah berhasil mengusikku.

"Hmm belum sich, mungkin bulan depan finalnya?" Ia menjawab santai sambil meneguk air punyaku.

"Junior, itu punya saya!" Meski aku berniat untuk melupakan kekesalanku, tetap saja hantu sipit itu selalu punya cara untuk menggagalkan rencanaku.

"Sorry gue haus banget. Dari tadi nyariin elo, ehh ternyata ada di sini." Junior memberikan senyum di akhir kalimatnya. Membuat lesung pipinya jadi kelihatan jelas.

"Kamu nggak punya waktu apa ngintilin orang mulu?"

Junior memesan makanan setelah soto ayamku datang. Tanpa menghiraukan dia, aku segera melahap soto yang ada di mangkuk dengan cepat. Ya, setelah ujian yang menguras tenaga, perutku menjadi lapar, belum lagi konfrontasi kecil yang kulalui dengan junior.

Junior tidak menjawab pertanyaanku. Ia hanya diam. Bukan bermaksud GR, tapi sepertinya Junior tengah menatapku intens. Awalnya kubiarkan saja, tapi lama-kelamaan ia tidak mengeluarkan suara, sehingga membuatku merasa canggung sendiri.

"Bisa nggak sich kamu berhenti?" Kuangkat kepalaku untuk menatap Junior yang ada di depanku.

"Berhenti apa?" Tanya dia yang tidak peka sama sekali.

Kulanjutkan makanku tanpa memedulikan dia lagi. Masa bodoh dia mau berpikir jika cara makanku itu tidak anggun. Toh dia bukan seseorang yang anggapannya harus kupedulikan.

"Nggak bareng Cia?" Tanya Junior yang membuatku langsung kehilangan nafsu makan. Mendadak soto ayamku terasa hambar. Ku hentikan makanku dan meneguk air milikku yang tadi di minum juga oleh Junior.

"Kok lesuh gitu?"
Mungkin aku salah dengar, pertanyaan Junior terdengar begitu lembut tadi. Mana mungkin dia yang absurd itu bisa jadi lain dalam waktu singkat.

Pesanan Junior sudah datang tapi ia terlihat tidak begitu berminat. Matanya terarah padaku, kemudian aku ingat jika dia sedang menunggu jawaban.

"Bukan apa-apa." Lalu sebuah pemikiran terlintas dibenakku. Tentang pertanyaan Junior, baru kali ini dia membahas Cia dalam percakapan kami. Haruskah aku mencurigainya? Kenapa selama menggangguku baru kali ini dia menyebutkan mantan pacarnya. Lagian Junior sama sekali bukan tipe orang yang akan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya sendiri.

"Aku boleh nanya nggak?" Junior tersenyum mendengarku.

"Kalau mau nanya yang nanya aja, nggak usah canggung gitu."

"Kamu sama Cia kok bisa putus? Pacaran cuma bentaran doang. Kamu nggak mainin dia kan?" Kutatap mata Junior baik-baik, aku ingin memastikan sesuatu. Tepat saat raut wajah Junior mengeras sambil berkata. "Bukan apa-apa." Aku yakin jika masalah mereka memang apa-apa. Tapi apa urusannya denganku? Cia menjauhiku dengan alasan yang hanya ia ketahui. Satu-satunya alasan yang masuk akal adalah dia cemburu karena Junior. Dia masih menyukai laki-laki sipit yang kini menyendok makanannya dengan malas di depanku. Ya, pasti karena itu. Pasti tidak mudah dia untuk melihat wajah perempuan yang merebut perhatian orang yang ia sukai.

Aku bisa maklum dengan alasan Cia, jika memang seperti itu sebab aku pun pernah merasakannya sewaktu Rasta lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan Medina. Tapi waktu itu aku cukup tau diri dan memilih untuk diam. Untung saja kediamanku Karena cemburu tidak menumbuhkan perasaan tidak suka yang membuatku tersiksa sendirian.

Tapi bagaimana dengan Cia?
Aku tak bisa membiarkan dia terus-terusan bersikap antipati terhadapku, walaupun aku juga tidak berharap hubungan kami bisa seperti dulu lagi.
Ahhh semua gara-gara Junior! Rutukku dalam hati sewaktu melihat dia yang hanya fokus mengaduk makanannya tanpa berniat menelannya.

-TBC-

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang