3. Ada apa dengan Rasta?

1K 69 3
                                    

Apa yang harus kulakukan sekarang? Ini sudah lewat begitu lama dari waktu yang kami janjikan. Apa Rasta lupa? Tidak mungkin. Dia bukan tipe orang yang seperti itu, membatalkan janji tanpa mengatakan apa-apa.

Sejak tadi aku juga sudah berusaha menghubunginya. Tapi tak ada yang berhasil, mulai dari mengiriminya pesan berulang kali hingga melakukan panggilan telepon.

Dia tidak mengangkat meski terdengar nada sambungan yang menandakan jika ponsel Rasta sedang dalam keadaan aktif.

Beberapa mahasiswa yang berada di kantin ini secara teratur meninggalkan kursi mereka, hingga menyisakan ruang sepi yang hanya menyisakan diriku. Jam istrahat sudah berakhir dan aku sama sekali belum melihat lesung pipi dalam itu. Ada apa dengan Rasta?

Mungkin dia lupa, pikir ku skeptis. Atau sengaja, dan opsi kedua terdengar lebih meyakinkan. Aku akan memastikannya sendiri.

Lama sekali aku menunggu di pojok koridor yang menghubungkan dengan ruang kelas Rasta. Cukup lama untuk membuatku kebosanan hingga kelas itu berakhir. Beberapa orang yang kukenali sebagai orang yang dekat dengan Rasta mulai keluar.

Tanpa terkecuali Mentari. Aku ingin bersembunyi dari gadis itu tapi terlambat. Dia sudah melihatku. Aku bisa menyimpulkan itu dari senyumannya yang nampak begitu menyebalkan di mataku, jika ia punya niat yang jelas akan kubenci.

Dia menghampiriku dengan buru-buru. Apa aku sudah pernah bercerita mengenai sosok gadis yang sok elegan ini?

Untuk ukuran sesama makhluk yang mengeluarkan darah sekali sebulan, gadis itu termasuk tidak peka, sangat tidak peka.

Mentari. Jika bisa kukatakan. Dia itu perempuan yang sangat feminim dan 'cewek banget' namun dari gerak-gerik dia itu sangat bar-bar. Dia terkesan begitu memaksakan perbuatannya. Anehnya Rasta sama sekali terlihat tidak masalah dengan rubah betina yang satu ini.

"Hai Din, nyariin Rasta ya?"
Wajahnya terlihat ramah meski nada suaranya terkesan meledek jika aku sama sekali tidak mengetahui keberadaan Rasta dan dari sikap Mentari, terlihat jika ia mengetahui keberadaan Rasta.

Tidak ku acuhkan pertanyaan Mentari. Aku hanya berusaha tersenyum biasa di hadapannya.

"Tadi pagi di ngehubungin gue." Akunya dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya yang cantik.

"Terus?" Tanyaku sebab pernyataan Mentari terasa begitu menggantung. Sepertinya masih ada kelanjutan dari kalimat Mentari barusan namun dia hanya diam menatapku. Seolah tengah menilai reaksiku.

Pasti dia berpikir aku sangat kesal. Dan jika ia memang berpikir seperti itu maka dia memang benar, ya aku sangat kesal pada rubah betina ini.

"Terus apa?" Dia balik bertanya.

Dengan kesabaran yang mencapai limit terakhir aku menjawabnya. Enggan rasanya harus berurusan dengan Mentari. Jika bukan karena mengkhawatirkan Rasta, wajah yang ada di depanku itu sudah kubuat mengucurkan darah karena cakaranku.

"Tadikan elo bilang kalo Rasta nelpon dan gue ngerasa kalo omongan lo itu masih ada kelanjutannya. Gantung banget tauu."

"Ohh iya gue lupa." Balasnya. Sangat kentara jika dia itu memang sengaja.

"Rasta gak kuliah hari ini. Neneknya yang di luar kota sakit. Dia izin tiga hari. Baru balik nanti hari minggu. Elo gak tau ya?" Senyum Mentari lebih mirip dengan seringai mengejek itu masih muncul.

Puas sekali dia dan aku begitu kecewa. Awalnya aku kemari untuk mencari tahu keadaan Rasta sampai aku mendengar pernyataan Mentari barusan. Kenapa Rasta tidak mengatakan apa-apa? Padahal chat semalam dia sudah. Mengiyakan.

"Yaudah makasih ya."

Gadis itu mengangguk antusias. Berbanding terbalik denganku yang seolah kehilangan energi untuk hidup.

Aku meninggalkan koridor itu sambil terus memikirkan kata-kata Mentari. Rasta gak kuliah hari ini. Neneknya yang di luar kota sakit. Dia izin tiga hari. Baru balik nanti hari minggu. Elo gak tau ya?

Kenapa dia bisa lupa? Kenapa dia bisa mengatakannya pada Mentari namun tidak padaku juga?

TBC

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang