7. Sebuah Keistimewaan

602 36 0
                                    


Playlist Raisa - Inginku

Ternyata aku terkena anemia. Itu informasi yang kudapatkan dari Rasta. Aneh juga. Sebelumnya aku belum pernah anemia.

Apa karena terlalu mikirin si Rasta ya?

Aku menggeleng cepat. Kemudian tertawa geli. Ah ya, selama di rumah sakit Rasta lah yang selalu menemaniku. Dan menjadi orang yang paling ku repotkan hahaha.

Sekarang aku sedang berada di dalam mobil Rasta. Dia sibuk menyetir dan pandangannya fokus ke depan.

Ahhh kenapa dia malah makin ganteng kalau diam-diam begini. Padahal baru diam loh! Bagaimana jika dia menjadi perhatian seperti saat aku masih di rumah sakit?

Meski aku juga sedikit kesal Jio sama sekali tidak menjenguk atau menghubungiku. Yang datang justru orang yang paling tidak kuharapkan. Si Mentari, dan tidak biasanya perempuan itu yang biasanya seperti petasan meledak-ledak, hanya berhenti jika amunisinya habis hanya diam dan berbicara pada Rasta saja sekedarnya.

Aku berpikir mungkin dia sedang jaga image saja di depan Rasta. Tapi kan Rasta adalah temannya sejak dulu jadi buat apa dia harus menjaga image di hadapan orang yang sering berada di dekatnya.

Memikirkan berbagai premis itu membuatku mengernyit karena rasa nyeri yang dengan perlahan merayap di kepalaku. 

"Kepala elo sakit?" Suara Rasta yang bertanya menggema di dalam udara yang sempit ini terasa begitu jelas. Lelaki itu melirik ke arah ku sekilas sebelum kembali mengfokuskan pandangnya ke depan.

Mau tak mau mendengar pertanyaan Rasta membuatku terpaku menatap wajahnya yang masih fokus menyetir. Rasanya pertanyaan Rasta itu begitu mengandung makna tersirat.

Dia peduli dengan keadaanku.
Dia memikirkanku hingga pertanyaan itu muncul.

"Kenapa?" Dia bertanya tanpa menoleh. Dia menyadari aku terus saja menatapnya.

"Nggak kok." Jawabku masih dengan menatapnya.

"Terus ada yang aneh sama muka gue?"

Anehnya meski terkesan peduli. Tetap saja Rasta selalu dengan sikap self defense yang dingin.

Dia bisa terasa dekat namun tetap jauh dengan sikap dinginnya itu. Meski ia tidak pernah membahas Mentari lagi. Apa aku pernah bilang jika dulu Rasta akan berubah menjadi bersemangat saat sedang membahas temannya itu.

"Nggak ada kok kamu tetap ganteng." Jawabku spontan sambil terus mengingat bagaimana Rasta dulu. Terdengar tawa yang di tahan dari bibir Rasta. 

Apa ia tertawa?

Sungguh keajaiban jika ia menertawakan kalimat yang sudah kupedengarkan padanya berulang kali.

"Kenapa? Apa ada yang lucu?"

Kini ganti aku yang bertanya pada Rasta meski caraku bertanya jauh lebih terdengar tidak sabar untuk mendapatkan jawaban daripada cara Rasta memberikan tanya tadi. Aku tidak peduli dengan wajahnya yang kembali datar.

"Lucu aja dengar Kalimat gombalan dari cewek yang sama berulang kali. Elo tahu?  Satu-satunya cewek yang agresif dan nggak jaim itu cuma elo yang gue kenal." Jawabnya sambil tersenyum. Senyum tulus, senyum yang juga sampai ke matanya yang gelap. Tanda jika ia tulus sekaligus menjadi senyum tulus Rasta yang kuterima pertama kalinya.

Harusnya jawaban Rasta itu menyulut emosiku dan membuatku menjadi marah atau malu. Nyatanya aku malah berdebar. Dihinggapi perasaan nyaman yang membuat dadaku menjadi lebih luas, lebih lapang. Hingga udara yang memasuki paru-paruku menjadi lebih banyak dan membuat tubuhku serasa ringan dan melayang.

Sepertinya aku sudah tidak tertolong lagi, aku benar-benar jatuh hati pada Rasta.

TBC

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang