34. Jelaga

243 16 0
                                    


Ada saat di mana aku ingin sendiri. Rasta, Junior. Mereka berbeda. Namun mereka sama-sama memiliki sesuatu yang membuatku terus-menerus memikirkan mereka. Aku butuh lebih banyak waktu untuk mampu mencerna semua ini.

Apa yang Rasta katakan mengenai Mentari sudah cukup menyadarkanku jika aku sama sekali tidak diinginkan. Dan aku tidak pernah menjadi pilihan bagi Rasta. Hal yang selama ini kucoba tutupi sendiri.

Sungguh menyedihkan. Aku baru tersadar saat Rasta begitu menunjukkan kepeduliannya pada Mentari. Ia peduli. Bukan sebagai seorang sahabat. Tapi sebagai seorang yang takut kehilangan. Mestinya Rasta mengaku saja.

Aku paham dengan perasaan Rasta. Menyukai seseorang tanpa orang itu tahu mungkin menyakitkan meski Rasta sudah tahu perasaanku dan tidak memberikan balsan yang kuharap tetap saja menyakitkan juga. Tapi setidaknya dia tahu dan tidak akan ada penyelasan atau pengandaian karena tidak bisa menyampaikan.

Aku bisa memahami jika memang Rasta mencintai sahabatnya itu dan aku akan menjadi orang yang sanagt egois bila kembali memaksakan perasaanku. Rasta, mungkin sudah waktunya aku menyerah. Benar-benar menyerah. Ya aku sedang berusaha melakukannya jadi dengan sibuk menyelasaikan tugas kuliah yag menggunung.

Masih pukul sepuluh malam lewat. Padahal rasa-rasanya aku sudah lama mengerjakan makalahku. Tenggorokan terasa sakit. Mungkin air bisa memberikan penawar. Jadi kuputuskan untuk ke bawah mengambil air. Aku berjalan dengan pelan. Berusaha tidak memikirkan Rasta atau tindakan Junior. Tapi jelas mengungkit nama mereka sudah merupakan tanda jika aku masih memikirkan mereka.

Aneh, kenapa Junior ikut-ikutan hadir dalam pikiranku dan parahnya aku juga terus memikirkan orang aneh itu. Bagus Medina. Kamu memikirkan mantan sahabat kamu sendiri. Aku harap Cia tidak menyadari keanehan ini.

Suara pintu diketuk bersamaan dengan namaku disebut mengalihkan langkahku yang semula ingin ke dapur menjadi ke pintu depan. Seperti suara Cia, atau memang dia. Prasangka menjadi kenyataan manakala kudapati sosok gadis tinggi dengan kulit putih serta mata bulatnya yang agak sembab. Dia benar-benar Cia.

"Medina?" Bahkann suaranya terdengar seperti habis menangis.

"Ayo masuk Ci." Aku menarik lengannya dengan pelan. Menuju ke sofa ruang tamu.

"Kenapa Ci? Kok mukanya jadi kayak gini." Yang kumaksud adalah wajahnya yang sangat kacau itu. Ada apa ini? Apa tentang Junior?

"Gue..." Cia menatapku dengan ragu.

"Kenapa?" Dia diam cukup lama.

"Bukan apa-apa. Gue Cuma kangen sama elo..." Cia mengatakannya sambil memelukku dengan tiba-tiba. Bersamaan dengan tangis pecahnya. Dia menangis sesegukan. Hampir mirip dengan anak kecil yang menangis.

Begitu jarangnya aku melihat sahabatku ini menangis. Terakhir aku melihatnya menangis lima tahun yang lalu sewaktu pemakamam ibunya. Jadi saat Cia kembali menangis dengan alasan merindukan aku yang jelas begitu sering ia temui menjadi sangat mencurigakan. Rasa sakit di tenggorokanku menghilang, tergantikan rasa sesak di dalam dadaku. Aneh rasanya semua ini tidaklah benar. Ada sesuatu yang Cia tutupi dariku. Tapi apa? Dan kenapa?

-TBC-

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang