Masih jauh. Tidak seperti hari-hari sebelumnya kampus yang sudah seperti rumah kedua terasa begitu jauh. Hingga memerlukan waktu yang begitu lama untuk tiba di sana."Sampe juga." Ku amati koridor kelas Rasta. Masih terlalu pagi.
Dari jauh wajah Mentari yang tertawa sudah nampak. Ia tidak bersama dengan Rasta. Aku berjalan maju dan menghampiri rubah betina itu dan bertanya tanpa kata melalui mata.
"Masih nyari Rasta?"
Aku mengangguk.
"Kayaknya dia belum datang."
Dia diam, matanya menyipit seolah memikirkan sesuatu.
"Lama juga. Tapi elo belum bosan ngintilin Rasta."
"Lo ngejek gue?"
Mentari tertawa.
"Kalo itu yang elo pikirin maka gue gak mau repot-repot nyangkal."
Kepalaku tiba-tiba menjadi pening. Lalu sebelum mampu menanggapi pernyataan Mentari, pandanganku menjadi gelap.
Dan saat mataku kembali terbuka yang kutemukan adalah diriku berada di sebuah ruangan serba putih dengan kasur ukuran kecil yang menjadi tempat pembaringanku. Kepalaku masih berdenyut nyeri. Aku hanya sendiri tandanya tidak seorangpun di sana yang bisa memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa aku ada di tempat ini.
Rasta.
Nama itu muncul di pikiranku. Kemudian mengirimkan perintah untuk membuatku segera bangkit. Hari ini Rasta pulang. Kami akan bertemu. Secepatnya aku bangkit dengan susah payah dan mengangkat kedua kakiku agar mendarat ke lantai. Setelah berdiri dengan gemetar pintu di sampingku membuka dan muncul Rasta sebagai orang pertama di tempat asing ini.
Ketimbang senang bisa melihat Rasta yang ada malah rasa kagetku lebih mendominasi sekarang. Aku bahkan tidak tahu harus mengucapkan apa. Dia kelihatan lebih berisi dari terakhir kali aku melihatnya. Syukurlah dia baik-baik saja.
"Mau kemana?" Dia bertanya dengan ketenangannya yang khas.
Sementara aku hanya diam menunduk menatap ubin lantai yang jelas sama sekali tidak menarik daripada Rasta.
"Duduk dulu Din. Temenin gue makan." Permintaan Rasta yang tiba-tiba saja tanpa aba-aba dari ketua pramuka sangat mengagetkanku. Dia meminta ditemani olehku?
Apa dia sadar jika tingkahnya sekarang menyiratkan perhatian pada orang sakit. Dan orang sakit itu aku. Kedua bibirku tertarik mengukir senyum. Sebuah senyum malu-malu.
Rasta beranjak ke arah sofa kecil yang ada di ruangan ini dan membuka kotak yang berisi berbagai makanan yang dipenuhi oleh sayur-sayuran dan daging.
Kusipitkan kedua mataku tanda jika menu yang dibawa oleh Rasta sama sekali tidak menggugah selera makanku. Rasta yang sadar jika aku hanya diam terpaku di depannya mendongakkan kepala untuk menatapku.
"Kenapa? Nggak suka?" Sungguh hari ini Rasta sangat aneh. Semua gelagat yang ia tunjukkan hari ini adalah suatu hal yang tidak akan pernah repot-repot dilakukan Rasta dulu.
Mungkin dia sedang bersimpati pada seorang gadis yang sedang sakit.
Iya. Pasti begitu. Harusnya aku tidak berpikir yang macam-macam. Walau Rasta selalu menunjukkan sikap yang cenderung menjaga jarak dariku tetap saja dia adalah manusia yang memiliki hati. Hati yang sangat kurang peka. Seru batinku yakin.
"Hmm Ras bukannya nggak suka. Tapi kan kamu tahu sendiri kalo aku bakal makan apapun yang kamu minta, sekalipun racun. Tapi itu semua butuh waktu dan kamu setidaknya harus memberikan perhatian perihal makanan buat aku berulang kali."
Dasar Medina sinting!!!
Baru melihat sisi baik Rasta sekali saja sudah ngelunjak.Salah satu bagian dari dalam diriku menegur. Tapi aku membuang pikiran itu. Salah Rasta sendiri kenapa tidak mengacuhkanku dari dulu. Malah dengan teganya aku dibuat layaknya idiot.
Tapi kan dia tidak minta untuk kamu perhatikan. Kamu kagumi. Kamu pikirkan dan kamu sukai bodoh!!
Kembali suara menyebalkan itu muncul di dalam benakku.
"Ok kalau itu maunya." Rasta menyahut santai bahkan tidak mau susah payah menengok ke arahku.
"Kamu kok aneh sich. Nggak biasanya banget." Tanyaku tanpa perlu melanjutkan konfrontasi dengan dia.
Rasta tak menjawab. Dia hanya memberikan tatapan enggan yang sedetik membuatku berhasil patuh pada permintaan atau lebih tepatnya pada perintah Rasta tadi.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Into You (Completed)
ChickLitMasalah yang dihadapi oleh Medina itu klise. Dia naksir sama orang yang salah. Bukan orangnya yang salah tapi pilihan Medina yang keliru. Jelas saja jika perasaan sukanya terhadap orang itu lumrah disebut sebagai cinta sepihak. Kasian banget! Disc...