Ada banyak masalah di dunia ini dan tak ada yang berniat untuk menyelesaikannya, ada banyak penyakit di dunia ini namun tidak ada yang mampu menyembuhkannya. Dan tentang rasa, sebanyak apapun jenis rasa yang pernah dirasakan manusia tak ada yang sesulit menyukai tapi tak pernah terucap.
Rasa dingin yang menusuk, sinar mentari yang menyengat. Semua rasa itu datang dari luar pemikiran kita. Dan akan berlalu ketika dingin dan panas itu meninggalkan kita. Lantas bagaimana dengan cinta? Apakah diperlukan sebuah rumus ataupun berbagai definisi agar mampu membuat kita lebih waspada?
Mungkin kalian bisa memberikan sedikit gambaran untukku jika semua yang manusia rasakan itu tidak penting. Atau katakan aku ini bodoh. Ya aku bodoh. Bagaimana carku mengutarakan perasaanku pada Rasta dulu saja sudah sangat menerangkan bagaimana bodohnya aku.
Jadi sebagai cara untuk menganlir semua rasa yang mendatangkan banyak emosi ini aku harus menyelesaikannya sendiri. Aku ingin melihat Rasta. Melupakan pengalaman yang tidak ingin kuingat mengenai Junior kemarin. Semua rasa yan sangat menganggu ini.
--
Masih dengan rutinitasku yang sewajarnya di hari perkuliahan selalu diawali dengan bangun pagi. Mandi, sarapan dan berjalan melewati jalan yang sama untuk tiba di kampus yang sama, menemui orang yang sama, melihat wajah yang sama dan duduk di bangku yang sama.
Setidaknya harapanku agar tetap dapat melihat Rasta masih menyala. Aku tahu menjadikan Rasta sebagai alasan setiap mengambil keputusan bukanlah hal yang bijak. Tapi siapa peduli? Kalian pun akan tidak peduli. Kalian tidak pernah peduli perasaan orang yang mungkin tidak memiliki kaitan dengan kalian.
Apa kalian pernah mendengar teori there is not permanet friend nor permanent enemy, there is only permanent of interest. Tapi tenang kisah ini masih tentang Rasta. Hanya saja kali ini aku akan membahas Cia. Salah seorang gadis yang kuanggap cukup dekat denganku. Cukup dekat hingga aku tidak pernah menyangka akan mengalami kisah yang sering aku tonton pada drama-drama remaja.
Cia tidak lagi mau menatapku. Cia bahkan selalu berusaha untuk menghndariku. Dia bahkan tidak menunjukkan telah meninggalkanku sendiri bersama dengan seorang laki-laki, Junior.
Itu dia, Cia berjelam di depanku yang kuyakin dia sama sekali tidak meihatku, jika ia melihatku maka tentu dia akan mengambil jalan yang berlawanan denganku. Suatu pemikiran yang memaksaku harus tersenyum miris. Oh tolonglah ini bukan drama yang selalu saja diselubungi masalah.
“Ci!” Jeritku di tengah kerumunan mahasiswa. Cia melihatku, dan raut wajahnya berubah. Aku tidak bisa menjabarkannya selain tanda jika ia sangat tidak ingin melihatku. Cia beralih, aku memajukan langkahku dengan cepat untuk mengejar Cia. Apapun masalahnya, Cia tidak bisa membiarkanku untuk tidak tahu.
‘’Cia.’’ Cegaku.
‘’Ada apa?’’ Cia masih memalingkan wajahnya.
‘’Ada apa? Lo bilang ada apa? Ci, seharusnya gue yang bilang sama elo. Ada apa Ci?’’
‘’Gue lagi nggak mood. Jadi mending sekarang lo pergi atau biar gue aja yang pergi.’’ Dia hanya menatapku dengan raut wajah bosan. Apa aku bisa mengatakan jika Cia sama sekali tidak berniat untuk melukaiku. Jika memang tidak, maka ia melakuka hal yangsebaliknya. Bahkan dengan sangat keras.
‘’Oke, apapun itu gue harap elo nemuin cara dengan bersikap kayak anak kecil gini. Semoga memang ini yang lo mau Ci.’’ Aku tidak bermaksud untuk menyinggungnya, sebaliknya aku berharap dia baik-baik saja. Bukankan bersikap jahat tanpa dihantui rasa bersalah itu tidak mudah?-TBC-
KAMU SEDANG MEMBACA
Into You (Completed)
ChickLitMasalah yang dihadapi oleh Medina itu klise. Dia naksir sama orang yang salah. Bukan orangnya yang salah tapi pilihan Medina yang keliru. Jelas saja jika perasaan sukanya terhadap orang itu lumrah disebut sebagai cinta sepihak. Kasian banget! Disc...